Amar Makruf Nahi Mungkar
Orang bijak mengatakan bahwa keterpurukan suatu masyarakat terjadi bukan karena tidak adanya pemimpin yang baik, tapi karena masyarakat tidak menjadikan orang baik sebagai pemimpin, dan tidak mencegah tampilnya orang buruk untuk memimpin.
Karena itu, kewarasan berpikir menjadi penting dalam Pemilu kali ini. Partisipasi dalam Pemilu harus diniatkan–meminjam istilah agama Islam–sebagai bagian dari amar makruf nahi mugnkar (menyeru kebaikan dan mencegah kemunkaran), dengan mendorong tampilnya pemimpin yang baik dan mencegah pemimpin yang buruk.
Baginda Rasulullah SAW bersabda, “Hendaklah kamu menyerukan kebaikan dan mencegah kemunkaran, atau Allah akan memberi kuasa kepada orang-orang yang yang jahat atas kalian, lalu mereka akan menimpakan keburukan atas kalian. Kemudian, ketika orang-orang yang baik di antara kalian berdoa, Allah tidak lagi mendengarkan doa mereka.” (HR Bazzar).
Pedoman memilih bagi warga sesungguhnya sederhana dan relatif jelas, meski terkadang tidak mudah dalam implementasi. Logika sederhana mengatakan, bila di antara calon ada yang baik dan yang buruk, yang dipilih tentunya harus yang baik. Bila semuanya baik, yang dipilih adalah yang terbaik. Dan bila semuanya buruk, yang dipilih adalah yang paling sedikit keburukannya.
Nalar sehat mengajarkan bahwa memilih pemimpin itu harus memenuhi beberapa kriteria. Yang terpenting bahwa calon pemimpin itu haruslah berintegritas, yakni memiliki sifat-sifat baik seperti jujur, amanah, dan bertanggung jawab. Jangan sampai masyarakat memilih calon pemimpin yang memiliki sifat munafik: pandai berjanji tapi mudah mengingkari, suka membangun citra tapi jauh dari fakta, pandai bicara tapi tidak dibarengi kinerja, dan jika diberi amanat mudah berkhianat.
Fenomena munculnya pemimpin pembohong, pembual dan culas yang memperdaya masyarakat telah disinggung oleh Rasulullah Saw dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Ibn Majah. “Akan datang pada manusia masa-masa yang penuh tipuan. Pada saat itu pendusta dipercaya, orang jujur didustakan. Pengkhianat diberi amanat, orang baik dianggap pengkhianat. Pada waktu itu yang berbicara adalah Ruwaibidloh. Rasulullah ditanya, “Siapakah ruwaibidhah?” Beliau menjawab, “Orang bodoh yang berbicara mengenai urusan publik.”
Punya Kompetensi
Sayangnya, tidak semua warga cerdas menghadapi fenomena ‘tipuan zaman’ semacam itu. Banyak warga yang karena keterbatasan wawasan, mudah terkecoh oleh janji manis, terpedaya oleh gimik, dan takluk pada rayuan hadiah dan fulus. Akhirnya, menjatuhkan pilihan bukan atas pertimbangan nurani dan akal sehat, tapi lebih karena pertimbangan pragmatis-material.
Selain berintegritas, pemimpin yang harus dipilih adalah yang memiliki kempetensi menjalankan tugas-tugas kepemimpinannya. Pemimpin negara tentu harus paham urusan kenegaraan, kebangsaan dan pemerintahan. Juga memiliki gagasan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan dan kenegaraan.
Akan lebih afdol bila pemimpin itu juga memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Karena, seorang pemimpin negara, dalam menjalankana tugasnya, tentu dituntut untuk mampu mengomunikasikan gagasannya kepada rakyat, juga menjalin hubungan dengan berbagai pihak, tidak hanya di dalam negeri tapi juga di luar negeri.
Debat capres dan cawapres yang diselenggarakan KPU sebanyak lima kali sesungguhnya menjadi cermin bagi masyarakat untuk menilai kualitas dan kapasitas calon pemimpin yang ada, apakah mereka menguasai masalah kebangsaan atau tidak, memiliki kemampuan dan pemikiran solutif terhadap masalah-masalah negara atau tidak.
Termasuk di antara kompetensi adalah kemampuan mengelola tugas dengan baik. Hal itu setidaknya dibuktikan melalui pengalaman calon tersebut dalam mengelola urusan negara, baik di lembaga eksekutif, legislatif, atau yudikatif.
Sulit rasanya meyerahkan urusan kepada orang yang tidak memiliki kelayakan dan kemampuan di bidangnya. Jika hal itu terjadi, maka kehancuranlah yang akan menanti. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Jika suatu urusan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR Bukhari).
Semoga kita cerdas memilih, dan tidak terpedaya oleh rayuan-rayuan yang menipu. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni