Nabi Muhammad Kembali ke Bumi
Dari berbagai tempaan hidup yang mengiringi perjuangannya, pada akhirnya seorang pemimpin akan menemukan keberhasilan. Sebuah keberhasilan yang tidak diukur berdasarkan parameter materialistis, misalnya seberapa banyak harta yang dikumpulkannya, melainkan berdasarkan nilai-nilai spiritualitas.
Itulah yang dialami oleh Nabi SAW dalam peristiwa Isra Mikraj, sebagai perjalanan spiritual penting beliau. Dalam perjalanan horizontal yang dilanjutkan perjalanan vertikal itulah terjadi perjumpaan Nabi SAW dengan Tuhannya. Dalam khazanah sufistik, perjumpaan dengan Tuhan adalah puncak capaian spiritualitas seorang hamba.
Tapi uniknya, Nabi SAW tidak mau tenggelam dalam egoisme spiritual. Beliau tetap menjadi pemimpin yang membumi. Pemimpin yang tidak rela jika berhasil dan mencapai kebahagiaan sendiri tanpa menyebarkannya kepada umat.
Karena itu, Nabi SAW kembali ke bumi membawa capaian mikraj dalam bentuk ibadah shalat, yang beliau sebut dengan ash-shalatu mi’raj al-mukminin (shalat itu mikraj-nya orang beriman, metode perjumpaan hamba dengan Tuhannya).
Padahal, Abdul Quddus, seorang sufi besar dari anak Benua India, seperti dikutip Haidar Baqir dalam buku Mi’raj Orang Beriman: Adab-dab Maknawi Shalat (IIMaN, 2002), pernah berandai-andai jika mengalamimikraj seperti Nabi SAW, maka ia enggan kembali dari perjumpaan dengan Tuhan itu. Ungkapan seperti itu sebenarnya menegaskan bahwa Islam adalah agama yang membumi, bukan agama elitis. Dan Nabi SAW adalah teladan pemimpin yang membumi, yang jauh dari sikap individualistis.
Seorang pemimpin jika menghadap Tuhan ia akan mengadukan segala nasib rakyatnya. Ketika di hadapan rakyatnya, ia akan menyampaikan pesan-pesan kebenaran Tuhan.
Bukan seorang Muslim yang baik jika ia mencapai kenikmatan dalam ibadah kemudian melupakan problem masyarakatnya. Karena itu keberhasilan ibadah tetap diukur sejauh mana dampak positif yang dibawanya bagi kehidupan bermasyarakat. Maka, shalat yang benar adalah shalat yang memberi dampak kehidupan berkualitas, yang jauh dari perilaku jahat dan kriminal (inna shalata tanha an al fakhsa’ wa al munkar).
Dalam konteks ini, bukanlah seorang pemimpin yang baik jika ia mampu meraih kesuksesan kemudian melupakan rakyatnya. Seorang pemimpin adalah pemegang amanah khalifatullah fil ardh (wakil Tuhan di bumi), yang mengemban tugas memakmurkan rakyatnya, dan bukan sebaliknya memperalat rakyat untuk kesejahteraan pribadinya.
Dua Tugas Pemimpin
Meminjam Muhammad Zuhri (Mencari Nama Allah yang Keseratus, Serambi, 2007), seorang [pemimpin] dikatakan berakhlak mulia (karimah) jika ia mampu memerankan dua fungsi sekaligus secara sinergis, yaitu saat menghadap Tuhan ia akan mengadukan segala nasib rakyatnya dan ketika di hadapan rakyatnya, ia akan menyampaikan pesan-pesan kebenaran Tuhan.
Dengan kata lain, pemimpin harus memberi teladan yang baik (berpegang pada prinsip kebenaran), yang dengan itu ia akan dipercaya oleh rakyat untuk memimpin.
Pudarnya kewibawaan para pemimpin kita, salah satunya disebabkan oleh hilangnya keteladanan mereka. Antara kebijakan di atas kertas dengan realitas seringkali berbeda. Suatu saat pemimpin berbicara tentang pemerintahan yang bersih, tetapi ternyata di kemudian hari terbukti justru ia yang terjerat kasus korupsi.
Seorang pemimpin mengajak rakyat hidup sederhana, namun di lain kesempatan justru ia memberi contoh hidup mewah, misalnya dengan menggelar pesta yang wah! Seorang pemimpin bilang tidak akan kampanye, ternyata dalam kenyataannya ikut berpihak dan turun ke lapangan.
Maka, di tengah hiruk pikuk menjelang Pemilu 2024, semoga kita menemukan pemimpin berakhlak karimah, yang sanggup mengambil teladan universal kepemimpinan Nabi Muhammad SAW. Teladan itu penting bagi pemimpin untuk melakukan perubahan pada kondisi bangsa dan negara agar menjadi lebih baik.
Lalu siapakah dari tiga calon pasang capres dan cawapres—serta calon anggota legislatif dan senator—yang layak dipilih? Maka perhatikan rekam jejak dan pengalamannya! (*)
Mohammad Nurfatoni Pemimpin Redaksi PWMU.CO