… وَارْفَعْ إِزَارَكَ إِلَى نِصْفِ السَّاقِ فَإِنْ أَبَيْتَ فَإِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِيَّاكَ وَإِسْبَالَ اْلإِزَارِ فَإِنَّهَا مِنْ الْمَخِيلَةِ وَإِنَّ اللَّهَ لاَ يُحِبُّ الْمَخِيلَةَ …
Dan naikkanlah kain sarungmu sampai ke setengah betis, jika kamu tidak mau, maka sampai ke mata kaki. Dan janganlah kamu melabuhkan kain sarungmu sampai menutup mata kaki karena melabuhkan sampai menutup mata kaki itu kesombongan sedang Allah tidak menyukai kesombongan. (HR Ahmad, Abu Daud dan Tirmidzi)
Larangan isbal ini tidak hanya pada kain sarung/celana, bahkan meliputi lengan baju dan sorban. Ini diperjelas oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:
اْلإِسْبَالُ فِي اْلإِزَارِ وَالْقَمِيصِ وَالْعِمَامَةِ مَنْ جَرَّ شَيْئًا خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرْ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Melabuhkan kain (sarung/celana), kemeja, dan sorban, itu siapa yang memanjangkan barang sedikit pun karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya di hari kiamat kelak. (HR Abu Daud, Nasa’i, dan Ibnu Majah)
Masih ada beberapa hadits lain yang semakna dengan itu. Dalam semua hadits di atas terdapat kata-kata khuyalaa’ – batharaan yang artinya sombong.
Dalam ilmu Nahwu, dua kata tersebut berkedudukan sebagai haalun yang oleh ulama Ushul Fiqih dikatakan sebagai taqyid (pengikat atau pembatas). Kaidah Ushul Fiqih menyatakan:
حَمْلُ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ وَاجِبٌ
Membawakan yang mutlaq (lepas) pada yang muqayyad (terikat) itu suatu keharusan
Yang dari kaidah itu kemudian ada mafhum mukhalafah (pengertian kebalikannya). Sehingga larangan isbal itu diikat dengan kesombongan. Jadi, yang terlarang dan diancam dengan neraka itu adalah isbal yang disertai dengan kesombongan. Mafhum mukhalafah-nya, kalau tidak sombong, tidak apa-apa.
Lantas bagaimana jika ada yang menyatakan bahwa “menolak” lafal hadits larangan isbal sebagaimana dalam berbagai hadits Nabi Muhammad saw itu sebagai perbuatan “menolak kebenaran dan meremehkan manusia?” Sudah tentu perbuatan “menolak kebenaran hadits”, bagi setiap Muslim, adalah sombong. Tetapi, yang jadi masalah dalam hadits larangan isbal itu adalah “maksud larangan dari hadits itu.” Sehingga yang patut dipahami, ketika seseorang bercelana dengan isbal itu bukan menolak hadits tersebut, tetapi memahami makna hadits.
Selanjutnya halaman 03…