Karena itu, Ibnu Ruslan dalam Syarhus Sunan mengatakan:
وَظَاهِر التَّقْيِيد بِقَوْلِهِ خُيَلاَء يَدُلّ بِمَفْهُومِهِ أَنَّ جَرّ الثَّوْب لِغَيْرِ الْخُيَلاَء لاَ يَكُون دَاخِلاً فِي هَذَا الْوَعِيد
Dhahirnya pengikatan dengan kata-kata khuyalaa’ (karena sombong) itu menunjukkan mafhum mukhalafah-nya, yaitu bahwa menyeret (melabuhkan kain sarung, kemeja dan sorban) bukan karena sombong itu, tidak termasuk dalam ancaman ini.
Ibnu Abdilbar sefaham dengan Ibnu Ruslan, dengan mengatakan:
مَفْهُومه أَنَّ الْجَارّ لِغَيْرِ الْخُيَلاَء لاَ يَلْحَقهُ الْوَعِيد إِلاَّ أَنَّهُ مَذْمُوم
Mafhumnya bahwa seorang yang melabuhkan kainnya bukan karena sombong itu tidak dapat terkena ancaman ini, hanya saja dia itu tercela.
Pendapat ini diperkuat dengan riwayat Abu Bakar yang sebagian kain sarungnya berlabuh hingga menutup mata kakinya. Lalu dia bertanya kepada Nabi, apakah dirinya itu juga termasuk sombong? Lalu dijawab oleh Nabi:
إِنَّك لَسْت مِمَّنْ يَفْعَل ذَلِكَ خُيَلاَء
Sesungguhnya engkau tidak termasuk orang yang berbuat demikian itu karena sombong. (HR Bukhari)
Sedang Imam Syafi’i memakruhkan. Di samping memang ada pula ulama yang mengharamkan secara lepas, baik karena sombong ataupun tidak. Dasarnya adalah memahami kalimat fainnahaa minal makhiilah (bahwa isbal itu termasuk sombong). Kesimpulannya, tentang isbal ini ada tiga pendapat: boleh asal tidak sombong, makruh, dan haram. Lebih lanjut dapat dirujuk Nailul Authar, Kitabul Libaas, dan Zaadul Ma’aad, juz I, halaman 140.
Yang terpenting, hargailah semua pendapat karena masing-masing punya dalil yang kuat. Dalam etika Tarjih Muhammadiyah ada prinsip yang berbunyi ma’ara’yi ghairihi, (pendapat yang satu) tidak menjatuhkan faham yang lain.
(dinukil dari “Islam dalam Kehidupan Keseharian”)