Jangan Rusak Demokrasi dengan Suara Kotor
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) menjadi kesepakatan bersama para pendiri bangsa. Sejak awal terbentuknya negara telah merencanakan hajatan pemilihan umum melalui Maklumat Pemerintah No X Tahun 1945.
Maklumat yang disampaikan Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta tanggal 3 November 1945 itu berisi anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut juga menyebutkan, pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan bulan Januari 1946.
Namun takdir berkata lain, memasuki tahun 1946 sampai 1949 negara Indonesia yang baru lahir disibukkan perang fisik mempertahankan kemerdekaan. Baru tahun 1955 pemilihan umum pertama berhasil dilaksanakan memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Konstituante.
“Sangat riskan dan tidak beradab jika ada rekayasa terhadap suara rakyat—yang disindir oleh film Dirty Vote sebagai suara kotor alias dirty vote.”
Hasil Pemilu dibatalkan pada 5 Juli 1959 dengan Dekrit Presiden menuju Demokrasi Terpimpin sampai 1966. Memasuki Orde Baru hingga Reformasi pemilihan umum digelar semakin tertib terjadwal lima tahunan, pernah agak lama dari tahun 1971 ke 1977 dan pernah sangat cepat dari tahun 1997 ke 1999.
Sejak 1999 sampai 2024 pemilihan umum menjadi pesta demokrasi dan pesta rakyat sesungguhnya. Dengan antusias sebagian warga masyarakat mendaftar atau didaftarkan sebagai calon wakil rakyat, calon presiden, calon wakil presiden.
Sebagiannya lagi antusias memeriahkan kegiatan kampanye, menjadi panitia pemungutan suara, pengawas dan bantu-bantu secara suka rela. Bilik-bilik suara disiapkan masyarakat secara gotong-royong dengan penuh suka cita tanpa ada perseteruan kubu 01, 02, 03 dan sebagainya.
Psikologis masyarakat luas telah siap menyambut pemimpin baru hasil pemilu, pesta demokrasi dan pesta rakyat dengan uang rakyat sendiri. Sangat riskan dan tidak beradab jika ada rekayasa terhadap suara rakyat—yang disindir oleh film Dirty Vote sebagai suara kotor alias dirty vote.
Semoga tidak ada manipulasi dalam proses rekapitulasi dan perhitungan suara, sehingga manfaat nilai tambah investasi untuk demokrasi dapat benar-benar kembali pada masyarakat luas, bukan terbatas. Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni