Dirty Vote, Clean Vote, dan Khittah Muhammadiyah oleh Naimul Hajar, Ketua Majelis Pendidikan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) PDM Sidoarjo, anggota LSBO PWM Jawa Timur.
PWMU.CO – Masuk di masa tenang Pemilu 2024 film dokumenter Dirty Vote muncul dan menjadi perhatian banyak pihak.
Di tayangan Dirty Vote kita disajikan narasi tentang kecurangan sistematis dalam Pemilu, memunculkan kekhawatiran mendalam terkait integritas demokrasi.
Film ini menggambarkan dinamika politik yang dipenuhi oleh perubahan aturan yang merugikan, campur tangan kroni, dan strategi licik dalam mendukung calon tertentu.
Meskipun menyajikan pandangan kritis terhadap sistem pemilihan, dikhawatirkan dengan pemaparan yang berlebihan dan dramatis dapat merugikan kepercayaan masyarakat terhadap proses demokrasi.
Melihat keraguan sebagian masyarakat terkait proses Pemilu tentu perlu ada Clean Vote secara nyata untuk keseimbangan dari apa yang diungkap Dirty Vote.
Clean Vote sebagai konsep Pemilu yang bersih dan terbebas dari kecurangan, memegang prinsip-prinsip demokrasi yang kuat.
Fokus utamanya adalah menjaga integritas proses pemilihan, mulai dari perubahan aturan terkait calon wakil presiden hingga menghindari keterlibatan kroni dan pendukung calon presiden.
Dengan menekankan transparansi, keadilan, dan keberlanjutan, Clean Vote bertujuan untuk memastikan bahwa setiap proses pencalonan sampai dengan penghitungan suara dihitung dengan benar, dan setiap calon memiliki kesempatan yang setara untuk bersaing.
Ini bukan hanya tentang mendeteksi dan mencegah kecurangan, tetapi juga menciptakan sistem yang membangun kepercayaan publik, menjaga keterwakilan yang seimbang, dan mempromosikan demokrasi yang sehat.
Selain menjaga integritas pemilihan dan menghindari kecurangan, Clean Vote juga merangkul prinsip-prinsip yang bertujuan untuk menjauhkan sistem pemilu dari pengaruh mafia dan cukong.
Hal ini mengakui bahwa kehadiran pihak-pihak eksternal yang memiliki kepentingan tertentu dapat mengancam proses demokratis yang sehat.
Oleh karena itu, Clean Vote menegaskan perlunya melibatkan otoritas independen dan mengadopsi mekanisme pengawasan yang ketat guna mencegah campur tangan dari kelompok-kelompok dengan kepentingan finansial atau politik yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Khittah Denpasar
Khittah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya langkah. Dapat pula diartikan sebagai rencana dan kebijaksanaan. Salah satu rujukan Politik Muhammadiyah adalah Khittah Denpasar.
Khittah Denpasar dihasilkan dari sidang Tanwir (24-27/1/2002) pada masa kepemimpinan Ahmad Syafii Maarif atau lebih populer dengan sebutan Buya Syafii.
Khittah ini terdiri dari sembilan rumusan. Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah melalui akun X @mpksdi_ppm telah membuat utas lengkap pada Selasa (14/11/2023) lalu.
Sembilan rumusan tersebut dirangkum menjadi kalimat yang lebih sederhana. Pertama, politik merupakan aspek urusan dunia yang perlu diselaraskan dengan nilai-nilai agama dan moral.
Kedua, Muhammadiyah meyakini dalam membangun kehidupan berbangsa melibatkan perjuangan politik serta kemajuan masyarakat sebagai upaya bersama.
Dilanjutkan poin ketiga yaitu Muhammadiyah memilih berjuang dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan melalui upaya pembinaan dan pemberdayaan masyarakat.
Urutan keempat, Muhammadiyah mendorong secara kritis peran aktif dalam perjuangan politik praktis.
Di poin lima, Muhammadiyah selalu mengekspresikan peran politiknya sebagai implementasi dakwah amar maruf nahi munkar.
Keenam, Muhammadiyah tidak memiliki keterkaitan atau hubungan organisatoris dengan kekuatan politik atau organisasi lainnya.
Pada poin tujuh Muhammadiyah memberikan kebebasan anggotanya dalam menggunakan hak pilihnya ketika berpolitik.
Aktif dalam berpolitik dengan mengedepankan tanggung jawab, akhlak mulia, hingga terwujudnya perdamaian menjadi rumusan ke delapan.
Urutan kesembilan Muhammadiyah siap berkolaborasi dengan berbagai golongan dengan berlandaskan prinsip kebajikan dan kemaslahatan. Tujuannya adalah membangun kehidupan berbangsa dan bernegara menuju kemajuan
Khittah Palembang
Muhammadiyah dalam catatan sejarah tidak hanya sekali menelurkan khittah. Pada Muktamar ke-33 di Kota Palembang tahun 1956 Muhammadiyah telah mengeluarkan khittah yang poin-poinnya tentang seruan agar menjiwai Kepribadian Muhammadiyah bagi para anggota khususnya bagi para pimpinan Muhammadiyah.
Mengaplikasikan sikap uswatun hasanah, menyempurnakan organisasi dan merapikan administrasi termuat juga dalam khittah tersebut. Selain itu warga Muhammadiyah perlu memperbanyak amal dan mempertinggi mutunya.
Meningkatkan mutu anggota dan kaderisasi, mempererat ukhuwah dan menuntun penghidupan anggota menjadi bagian yang tak kalah penting dari Khittah Palembang.
Khittah Ponorogo
Khittah Ponorogo ini lahir dari hasil Sidang Tanwir tahun 1969. Tanwir yang dilaksanakan setelah Muktamar ke-37 di Yogyakarta ini menghasilkan dua pokok kebijaksanaan yaitu Pola Perjuangan dan Program Dasar Perjuangan.
Pola perjuangan yang dimaksud adalah dalam upaya meraih keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah harus berpedoman pada Alquran dan Assunnah. Pada pola perjuangan ini terkuak adanya wacana pendirian partai politik sebagai alat perjuangan dakwah.
Program Dasar Perjuangan adalah pembuktian bahwa ajaran Islam memiliki kemampuan untuk mengelola masyarakat Indonesia agar mencapai keadilan, kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan, serta keseimbangan antara aspek materi dan spiritual yang diridhoi oleh Allah SWT.
Khittah Ujung Pandang
Tahun 1971 bertepatan dengan Muktamar Muhammadiyah ke-38 di Makassar menghasilkan Khittah Ujung Pandang.
Khittah ini isinya adalah pernyataan bahwa Muhammadiyah murni sebagai organisasi dakwah Islam yang tidak terafiliasi dengan partai politik manapun. Setiap anggota boleh bergabung dengan partai politik lainnya dengan catatan tetap tidak menyimpang dari anggaran dasar Muhammadiyah.
Pemantapan gerakan dakwah secara konstruktif dan positif terhadap Partai Muslimin Indonesia kala itu dan mengamanatkan pada pimpinan Pusat Muhammadiyah supaya membuat skema dan langkah-langkah guna menyokong pembangunan nasional.
Khittah Surabaya
Surabaya pernah menjadi tuan rumah Muktamar ke-40 di tahun 1978. Kota tempat kelahiran KH Mas Mansyur itu juga masyhur dengan adanya Khittah Surabaya.
Menurut Dr Mukhtar Hadi MSi, Ketua Badan Pengurus Harian Universitas Muhammadiyah Metro Lampung dalam tulisannya yang termuat di ummetro.ac.id mengatakan, Khittah Surabaya 1978 berisi dua hal.
Pertama, Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dan afiliasi dengan suatu partai politik atau organisasi apapun.
Kedua, setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Persyarikatan Muhammadiyah. (*)
Editor Sugeng Purwanto