PWMU.CO– Meluruskan demokrasi bukan mengawal demokrasi ditegaskan Prof Dr M. Din Syamsuddin dalam Dialog Kebangsaan yang diadakan oleh TV One, Rabu (14/2/2024) malam.
Pernyataan Din Syamsuddin itu mengomentari kalimat topik dialog: Mengawal Demokrasi.
“Saya mengusulkan kepada TV One seharusnya acara ini namanya bukan Mengawal Demokrasi, namun Meluruskan Demokrasi,” kata Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 2005-2015 ini.
Menurutnya, demokrasi yang dikenal adalah kedaulatan rakyat. Tetapi dalam praktiknya di Indonesia menjadi kedaulatan partai. Baik pencalonan caleg maupun pencalonan presiden dan wakil presiden.
Indonesia ini, kata Din, menerapkan demokrasi pada paradigmanya yang liberal dalam doktrinnya yang paling liberal. Ini yang bertentangan dengan sila keempat Pancasila.
“Celakanya hasil demokrasi yang terjadi sejak era reformasi itu menampilkan kepemimpinan nasional yang mengukuhkan diri untuk berkuasa dan melanggengkan kekuasaan dengan segala cara,” katanya.
Inilah yang menjadi muara dalam kondisi kita. “Oleh karena itu, sejak awal saya usul kepada TV One bukan hanya mengawal demokrasi, namun meluruskan demokrasi Indonesia untuk tidak juga tercerabut dari akar etika politik, moralitas politik baik berdasarkan agama maupun budaya Indonesia,” paparnya.
Menyimpang
Menurut dia, Pemilu 2024 menyimpang dari nilai-nilai demokrasi. Seperti tidak jujur dan tidak adil.
“Saya kaji laporan, ada 54 juta pemilih bermasalah. Sekitar 26 persen dari seluruh pemilih (sekitar 204 juta orang) ada yang berumur di bawah 17 tahun, di atas 100 tahun, bahkan ada yang tertulis 1003 tahun, dan ada pemilih yang terdaftar di dua sampai tiga TPS,” ujarnya.
Maka, lanjut Din Syamsuddin, saya dan teman-teman dan guru besar serta aktivis sudah meminta melakukan klarifikasi, verifikasi, dan koreksi terlebih dahulu sebelum pencoblosan. Karena data ini daftar pemilih tetap bermasalah dan bisa berpotensi dimanfaatkan oleh paslon tertentu yang mengendalikan dan menguasai.
Jika ini terjadi, kata Prof Din Syamsuddin, hasil pemilu kita menjadi cacat etika. Karena itu, selain kita tetap bersatu saya tidak setuju kalau pertentangan itu hanya dikalangan elite.
“Saya tiga kali dalam seminggu pernah ke daerah-daerah sampai ke lapis bawah, kali ini poralisasi rakyat terbelah kepada pro perubahan dan pro berkelanjutan,” kata Prof Din yang juga lulusan University of California, Los Angeles (UCLA) di Amerika Serikat, Interdepartmental Programme in Islamic Studies itu.
Ini sesungguhnya tidak positif jika terus menerus, maka Din Syamsuddin mengajak untuk mendorong proses hukum yang berkeadilan.
Namun, kata Prof Din, untuk mengawal demokrasi ini saya berpikir sistem politik dan sistem Pemilu Indonesia menyimpang dari nilai-nilai demokrasi. Apalagi dikaitkan dengan sila keempat Pancasila
“Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, demokrasi Indonesia jauh dari itu,” katanya.
“Maka untuk meluruskan demokrasi Indonesia, yaitu kembalikan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita kepada khittahnya sesuai dengan yang disepakati oleh para pendiri bangsa 18 Agustus 1945 yaitu UUD 1945. Inilah jawabannya,” tandasnya.
Karena dengan dimasukkannya istilah demokrasi dalam UUD dan undang-undang pemilu, pilpres berlangsung secara demokratis.
“Apa yang terjadi saat ini, ini bertentangan dengan nilai-nilai dasar yang telah ditetapkan oleh pendiri bangsa,” kata Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah periode 1989–1993 itu.
Maka ke depan, Prof Din mengusulkan nama kegiatan ini bukan mengawal demokrasi tapi meluruskan demokrasi agar bersesuaian dengan Pancasila sila keempat.
Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan Editor Sugeng Purwanto