PWMU.CO – Din Syamsuddin mengatakan, sehubungan dengan adanta tuduhan bahwa IT KPU terprogram alias by design untuk menggelembungkan suara pasangan calon (paslon) capres dan cawapres nomor urut 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, maka mengajak seluruh rakyat yang peduli pemilu damai, jujur, dan adil untuk mendesak dilakukannya audit forensik IT KPU.
Apalagi, kata Din, ditengarahi bahwa server Sirekap atau Sistem Informasi Rekapitulasi KPU terhubung dengan pihak di luar negeri yakni RRT dan Singapura.
“Jika hasil investigasi itu terbukti benar maka komisioner KPU harus diganti,” kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015 itu, pada PWMU.CO, Sabtu (17/2/2024) sore.
Dia juga menegaskan jika hasil investigasi itu terbukti kemenangan paslon 02 yang diuntungkan dengan penggelembungan suara tersebut harus dinyatakan batal demi hukum dan etika.
“Tegakkan etika kebenaran, kejujuran, dan keadilan,” kata mantan Ketua Umum MUI dan Ketua Dewan Pertimbangan MUI tersebut.
Desakan Pemerhati Telematika
Desakan audit firensik IT KPU juga diberikan oleh pemerhati telematika, AI, OCB dan multimedia independen Roy Suryo. Dia menyampaikan information technology (IT) Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus diperiksa dan dilakukan audit forensik.
Hal itu dilakukan agar legitimasi data yang dihasilkan Sirekap dapat dipercaya dan sah secara hukum untuk Pemilu 2024.
“Tegas saya sarankan periksa dan audit forensik IT KPU agar legitimasi data yang dihasilkan bisa dipercaya dan sah secara hukum untuk hasil Pemilu 2024,” ujar Roy Suryo dalam keterangannya, Sabtu (17/2/2024), seperti dilansir sindonews.com.
Menurutnya, jika pemeriksaan tidak dilakukan maka aplikasi Sirekap dinilai tidak legitimate. Imbasnya keabsahan data yang dikeluarkan akan selalu dipertanyakan.
Roy menjelaskan bahwa Sirekap yang berbasis OCR (optical character recognizer) dan OMR (optical mark reader) ini bukan hal baru. Ia pun menilai KPU gagal memanfaatkan secara maksimalkan aplikasi tersebut hingga banyaknya kesalahan dan menjadi obrolan di lini masa pasca Pemilu 2024.
“Bagaimana tidak, Sirekap ini belum pernah diuji teknik dan publik secara benar-benar terbuka dan diawasi oleh Tim Independen di infrastruktur IT yang digelar untuk 38 provinsi di Indonesia yang memiliki heterogenitas baik teknologi maupun SDM-nya,” ungkapnya.
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga itu mengatakan bahwa sertifikasi Sirekap hanya didapatkan dari Kominfo bukan institusi yang lebih kompeten seperti BRIN. Belum lagi sertifikasi hanya mencakup aplikasi dan tidak terhadap sumber daya manusia atau operator yang menjalankan.
“Oleh karena itu menjadi tidak aneh kalau banyak sekali ‘anomali’ seperti seringnya angka salah dipindai misalnya 1 menjadi 7 atau bahkan 4, juga penambahan desimal yang membuat jumlahnya fantastis sampai ribuan, padahal lazimnya 1 TPS hanya berkapasitas 300 orang,” jelas dia.
“Tuduhan adanya ‘algoritma sisipan’ seperti yang disampaikan berbagai pihak pun menjadi tidak bisa dihindari, karena ‘kesalahan’ ini terjadi secara nyaris seperti TSM (terstruktur, sistematis, dan masif) di banyak tempat, tidak hanya hitungan jari,” ujarnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni