Pilpres 2024: Katalis Kembali ke UUD 45 oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS, Pendiri Rosyid College of Arts.
PWMU.CO – Pagi ini saat membuka WhatsApp. Saya menerima pesan Kang Yudi Latif yang menyertakan artikelnya di Kompas berjudul Kembali Ke Fitrah Cita Negara.
Kang Yudi mengatakan, dekadensi dalam praktik demokrasi di republik ini merupakan resultante dan kulminasi dari berbagai kelemahan rancang bangun tata kelola negara serta malpraktik pemerintahan selama masa reformasi.
Ini berbeda dengan protes dan keluhan Gunawan Mohammad, Romo Magnis Suseno, dan Ikrar Nusabakti serta para profesor baru-baru ini yang hanya menunjuk pada malpraktik Jokowi semata.
Dengan demikian Yudi menengarai cacat pada UUD 2002 sebagai hulu masalah kehidupan berbangsa dan bernegara kita saat ini.
Di tengah proses Pemilihan Presiden 2024, desakan mantan Wapres Try Soetrisno untuk kembali ke UUD 45 sebagai rancang bangun tata kelola negara yang sesuai dengan cita negara ditolak keras, karena dianggap sebagai upaya membuka peluang bagi Jokowi mengeluarkan dekret untuk memperpanjang kekuasaannya sendiri.
Oleh sebagian die hard Anieser, kembali ke UUD 45 hanya agenda tentara atau Orde Baru yang militeristik. Pilpres langsung dinilai sebagai puncak kemenangan civil society.
Sementara itu Marwan Batubara bersikeras bahwa UUD 2002 adalah hasil konsensus nasional yang sudah dielaborasi oleh berbagai fraksi MPR semasa awal reformasi.
Marwan mengabaikan Prof Sofyan Efendi (mantan Rektor UGM) yang menduga peran banyak NGO asing dalam menyusupkan demokrasi liberal dalam proses perubahan UUD 1945. Karena itu Prof Kaelan UGM menyebut UUD 2002 sebagai total replacement, bukan sekadar amandemen UUD 45.
Asal Pilih
Cacat tata kelola negara ini mulai merambat sejak Pilpres 2014 yang melahirkan Presiden Jokowi. Pada Pilpres 2019 cacat itu seperti retak yang menjalar ke permukaan.
Sebelum dan sesudah pemungutan suara Rabu 14 Februari 2024 telah muncul wacana kecurangan Pilpres 2024 seperti politik uang melalui serangan fajar, BLT, dan Bansos, campur tangan ASN dan aparat, maupun manipulasi suara di tingkat TPS, KPUD, hingga KPU dengan menggunakan algoritma perhitungan yang menguntungkan paslon tertentu.
Para pakar Pemilu sudah mengatakan, Pemilu di Indonesia versi UUD 2002 ini adalah the most complex liberal democracy on earth.
Kesemua faktor tersebut valid disampaikan, namun ada faktor lain yang luput dari pengamatan banyak pengamat, yaitu salah pilih oleh pemilih di TPS yang oleh peneliti M. Qodari disebut sebagai silent majority. Saya menyebutnya rationally ignorant majority.
Mungkin Rocky Gerung akan menyebut mayoritas dungu. Hipotesis alternatifnya adalah kemenangan Capres 02 lebih banyak disebabkan oleh kesediaan 02 untuk mengurangi beban kognitif yang dipikul pemilih agar mereka tidak asal pilih.
Mengapa pemilih melakukan asal pilih?
Pertama, mayoritas pemilih adalah rationally ignorant, tidak kenal paslon, tidak memiliki akses yang cukup pada data kualitatif maupun kuantitatif para paslon.
Informasi yang mereka terima bukan dari hasil penyelidikan mandiri, tapi lebih karena opo jare penggiringan opini, propaganda, intimidasi, dan politik uang melalui serangan fajar, BLT dan Bansos.
Kedua, memilih yaitu membandingkan paslon satu sama lain pairwisely adalah proses yang tidak sederhana. Membandingkan tiga capres saja sulit, apalagi harus menimbang juga cawapres pasangannya.
Lalu memilih 1 di antara 2 saja sulit apalagi memilih 1 di antara 3. Dalam situasi seperti ini, Thomas Saaty mengatakan bahwa pemilih akan cenderung inkonsisten.
Jadi kemungkinan besar para pemilih akan asal pilih yang berakibat pada salah pilih. Dalam perspektif ini, serangan fajar, BLT dan Bansos membantu meringankan kesulitan kognitif pemilih untuk menentukan paslon pilihannya.
Jadi tuduhan adanya kecurangan terstruktur, sistemik, dan masif itu tidak tepat karena yang terjadi sebenarnya adalah asal pilih massal yang disebabkan kesenjangan informasi tentang paslon pada mayoritas pemilih dan inkompetensi mereka untuk memilih presiden.
Paslon 02 juga diuntungkan karena posisi gambarnya di tengah dalam kertas suara Pilpres sehingga secara acak akan lebih berpeluang tercoblos.
Paslon Dadakan
Last, but nontheless the least. Di samping potensi salah pilih, UUD 2002 membuka peluang salah paslon. Apakah paslon Amin dan Gafud yang wajar? Anies harus menunggu lama sampai akhirnya Cak Imin yang datang.
Prabowo juga begitu. Tapi PraGi justru last minute couple yang paling matched.
Besarnya cakupan wilayah, ratusan ribu TPS, dan kelemahan jaringan informasi dalam rangka rekapitulasi suara juga menyebabkan peluang salah hitung suara.
Tesis Mancur Olson bahwa Pilpres sebagai tindakan kolektif oleh 150 juta pemilih akan salah pilih terbukti berlaku.
Pilpres oleh wakil-wakil kita yang well educated and well informed berjumlah kecil di MPR akan lebih tepat pilih. Ditambah dengan manhours lost akibat libur bersama Pemilu ini, ongkos Pemilu ini sangat terlalu mahal untuk asal pilih.
Sebenarnya agak mengherankan ketika banyak profesor terlambat protes praktik demokrasi dungu ini. Kang Yudi Latif menyebut praktik bernegara seperti ini demokrasi dekaden. Prof Sri Edi Swasono menamainya deformasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Saya menyebutnya demokrasi mbelgedhes.
Oleh karena itu, untuk kembali pada fitrah cita negara seperti anjuran lembut Kang Yudi Latif, hemat saya Pilpres 2029 sebaiknya diserahkan pada para wakil terpilih kita yang berjumlah relatif sedikit di MPR melalui proses elaboratif yang disebut musyawarah bil hikmah sesuai UUD 45.
Ini lebih sederhana, murah, transparan dan akuntabel, serta tidak menyebabkan perpecahan dan konflik di tingkat akar rumput. Peluang salah-paslon, salah pilih, dan salah hitung akan jauh lebih kecil.
Gunung Anyar, Surabaya, 21 Pebruari 2024
Editor Sugeng Purwanto