PWMU.CO – Indonesia patut berbangga punya tokoh bangsa Haedar Nashir pernyataan yang disampaikan Kapolri Lisytio Sigit Prabowo dalam peluncuran buku Jalan Baru Moderasi Beragama: Mensyukuri 66 Tahun Haedar Nashir di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta Pusat, Senin (4/3/2024).
Menurut Jenderal Polisi Lisytio Sigit Prabowo, Haedar Nashir adalah sosok cendekiawan dan ulama yang konsisten mengajarkan kerukunan, toleransi, dan budaya moderasi beragama di tengah masyarakat yang majemuk.
“Semoga buku ini dapat menginspirasi kita dalam meningkatkan pemahaman serta menyebarkan moderasi beragama sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ungkap mantan Kabareskrim ini.
Sejumlah tokoh tampak hadir dan memberikan testimoti di acara peluncuran buku yang diselenggarakan Lembaga Kajian dan Kemitraan Strategis (LKKS) Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.
Di antaranya mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla; Kapolri Lisytio Sigit Prabowo; mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti; Menteri Koperasi Teten Masduki; Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin; Menteri Perhubungan Budi Karya; Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan; Menteri Pendidikan, Kebudayaan, dan Ristek Nadiem Makarim; Uskup Agung Jakarta Kardinal Suharyo; Ketua Umum PGI Pdt. Gomar; dan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti.
Dalam pandangan Kardinal Ignatius Suharyo, transformasi Muhammadiyah di bawah kepemimpinan Haedar mengingatkannya pada transformasi yang terjadi dalam Gereja Katolik, sejak Konsili Vatikan II (tahun 1962-1965).
Proses moderasi di kalangan Katolik juga terus berlangsung. “Kata-kata Haedar tidak terbang hilang, tetapi dipahami, diingat, dan dikutip. Karena keteladanan beliau, saya yakin akan kebenarannya (beliau) disebut sebagai begawan moderasi Islam”, tutur pemimpin umat Katolik di Indonesia ini.
Menurutnya dalam pribadi Haedar Nashir berlangsung dinamika yang bisa dirangkai dalam tiga kata: pengalaman keagamaan otentik, transformasi pribadi, dan transformasi institusi.
Jusuf Kalla mengatakan perbedaan agama yang ada sebenarnya hanyalah perbedaan tafsir agama. Oleh akrena itu ia bersyukur Indonesia memiliki figur seperti Haedar Nashir yang selalu mengutamakan moderasi melalui pendidikan. Moderasi dan modernisasi, yang juga menjadi fokus utama Muhammadiyah, harus berjalan bersama.
Susi Pudjiastuti mengaku bangga bisa menjadi seorang sahabat dari Haedar Nashir. “Saya senang sekali diberikan kesempatan untuk bersahabat dengan Pak Haedar yang punya kedalaman hati dan keluasan ilmu. Beliau adalah orang yang sangat halus tapi sebenarnya tegas,” ujarnya.
Kardinal Suharyo mengatakan transformasi Muhammadiyah tidak bisa dilepaskan dari transformasi pribadi seorang Haedar Nashir. Sumber transformasi pribadi tersebut berasal dari penghayatan agama yang otentik. “Karena penghayatan agama itu Pak Haedar dikenal sebagai sosok yang selalu teduh dan memberikan rasa aman pada semua,” ujarnya.
Sementara itu Abdul Mu’ti mengaku banyak belajar dari bagaimana Haedar Nashir bersikap dan terus konsisten dengan khittah Muhammadiyah. Menurutnya, Muhammadiyah dengan moderasinya berada di jalan sunyi.
Moderasi berbeda dengan deradikalisasi. Kendati demikian, meskipun pemerintah belakangan mengadopsi istilah moderasi beragama, tetap terdapat beberapa pendekatan yang berbeda dengan moderasi Muhammadiyah.
Bukan Mengawetkan Pemikiran
Ketua LKKS PP Muhammadiyah Fajar Riza Ul Haq menjelaskan buku ini tidak dimaksudkan untuk mengawetkan pemikiran seseorang yang sangat mungkin masih akan berkembang bahkan bisa saja berubah.
“Karya ini mengajukan refleksi bahkan kritik atas gagasan moderasi beragama yang menjadi platform intelektual dan aktivisme Pak Haedar selama ini, utamanya dalam memimpin umat dan sebagai tokoh bangsa”, ujar Fajar Riza Ul Haq yang mengeditori buku tersebut bersama Sekretaris Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani PP Muhammadiyah Azaki Khoirudin.
Menurut dioa pesan moral buku ini relevan dengan kondisi kebangsaan hari ini pascapemilu yang menuntut rekonsiliasi politik dan mengingatkan masyarakat agar tidak terseret sikap partisan yang berlebihan. Moderasi beragama meniscayakan budaya moderasi dalam kehidupan kebangsaan.
Sikap moderasi juga menjadi jangkar Haedar Nashir dalam menakhodai Muhammadiyah mengarungi pasang-surut politik nasional. Haedar bisa menampilkan corak kepemimpinan kritis-akademis dalam menerjemahkan semangat amar makruf dan nahi munkar pada ranah kenegaraan. Haedar percaya, pendekatan dialog-persuasif lebih proporsional dibanding pendekatan reaksioner-konprontatif. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni