Makna Megengan Diungkap dalam Kajian Ini

H Soedjono SPd MPd saat mengisi kajian Ahad pagi di halaman Masjid Al Islah Sidowungu Menganti Gresik, Ahad (10/3/2023) (Nadhirotul Mawaddah/PWMU.CO)

PWMU.CO – Makna Megengan, Adat Jawa yang penuh makna diungkap pada Kajian Ahad Pagi di Halaman Masjid Al Islah Sidowungu Menganti Gresik, Ahad (10/3/2024).

Kajian Ahad Pagi Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Menganti Gresik kali ini digelar bersamaan dengan kegiatan pengukuhan bersama Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) se-Kecamatan Menganti dan pengukuhan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Cabang Menganti.

Ketua Divisi Pencegahan dan Penyalahgunaan Narkoba (P2N) LDK PWM Jatim, H Soedjono SPd MPd berkesempatan hadir memberikan kajian menjelang puasa ramadhan kepada para pimpinan yang dikukuhkan serta kurang lebih 100 jemaah yang menyaksikan pengukuhan.

“Megeng itu memeg barang engkang ageng (menyambut hari yang besar). Tradisi ini adalah tradisi yang berasal dari orang Jawa, bukan tradisi dari agama Islam,” ujarnya.

Namun demikian, lanjutnya, tradisi ini penuh dengan makna. Megeng selalu menghadirkan apem. Padahal zaman sekarang apem itu makanan yang tidak digemari bahkan bisa saja dibuat mainan oleh anak-anak.

“Mengapa apem ini tidak diganti saja dengan makanan kekinian seperti spageti, pizza, tahu isi atau ote-ote?” Karena apem memiliki makna, terang dai sejuta parikan ini kepada para jemaah.

“Apem ini merupakan kue yang memiliki dua warna, yaitu hitam dibagian bawah dan putih dibagian atas,” terangnya.

Hal ini mempunyai arti bahwa Ramadhan itu panas, sehingga bisa membakar dosa-dosa kita habis sampai gosong seperti bagian bawah kue apem yang hitam. Setelah melewati Ramadhan kita akan kembali menjadi putih bersih seperti pucuk kue apem.

Soedjono menambahkan, selain apem ada buah yang mendampingi, yaitu pisang. Hal ini menandakan bahwa apem itu simbol dari perempuan dan pisang simbul dari laki-laki. Artinya, puasa itu diwajibkan untuk semua perempuan dan laki-laki.

Berikutnya Soedjono menerangkan tentang Hadist Nabi Muhammad SAW yang berbunyi, Surga itu merindukan kepada 4 golongan: orang yang membaca al-Quran, orang yang menjaga lidah, orang yang memberi makan orang yang sedang kelaparan, dan orang-orang yang berpuasa pada bulan Ramadhan (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

“Puasa yang seperti apa yang di rindukan oleh surga?” tanya Soedjono retoris. Ada tiga hal yang harus dimiliki oleh seseorang agar puasa yang dijalankan merupakan puasa yang dirindukan oleh surga.

Pertama, syukur kepada Allah. Soedjono mengutip Surat Ibrahim ayat ke 7 yang artinya, Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.

“Nikmat apa saja yang akan ditambah?” kembali lagi pertanyaan retoris dilontarkan. Ada lima nikmat yang akan ditambah, yaitu iman yang mantap, amal yang banyak, ilmu yang luas, rizki banyak dan barokah serta surge.

Kedua, niat harus ditata. Menurutnya, niat memegang peran yang penting sebagaimana potongan hadist nabi SAW ‘Innamal a’malu binniyat’ (sesungguhnya segala perbuatan itu tergantung pada niatnya).

“Niat harus benar, yaitu niat karena iman dan niat karena mengharap ridho dari Allah. Yang ketiga adalah ilmu. Kita harus punya keyakinan bahwa puasa itu penting, bukan sebaliknya yang penting puasa,” jelasnya.

Di akhir kajiannya, Soedjono berpesan bahwa setelah puasa jadilah seperti ulat jangan seperti ular. Ular, meskipun sudah melepaskan kulitnya tetap saja menyeramkan dan menakutkan. Tetapi ulat awalnya dibenci petani karena menganggu tanaman, ketika puasa dia berubah menjadi kepompong dan sesudahnya akan berubah menjadi bermanfaat dalam proses penyerbukan dan berubah menjadi wujud yang cantik dan indah sekali.

Parikan pun dilayangkan sebelum menutup kajian.

Mbeber kloso ono gulo karo sego

Sopo seng poso mugo-mugo mlebu suargo

Mbeber kloso ono gulo karo ndok dadar

Sopo seng gak poso mugo-mugo ndang sadar.

Tuku kloso nang Kertosono

Di beber ombo nang nggone njobo

Ulan poso kurang sedino

Nek duwe salah sampeyan sepuro. (*)

Penulis Nadhirotul Mawaddah. Editor Ichwan Arif.

Exit mobile version