PWMU.CO – Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki semangat kembar yang Islam bawa. Yaitu manusia sebagai hamba dan pemimpin di muka bumi (‘abdun dan khalifah fil ardh).
Hal ini ditegaskan Anggota Majelis Pembinaan Kader (MPK) Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah Ninin Karlina SUd membahasnya pada Syiar Ramadhan 1445 Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur, Jumat (29/3/2024).
Di Aula Mas Mansur Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur itu, Ia lantas mengutip adz-Dzariyat ayat 56.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
Artinya, “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku.”
Dari ayat itu, Ninin menegaskan, “Di sana dikatakan jin dan manusia. Bukan jin dan laki-laki atau jin dan perempuan.”
Jadi Ninin meluruskan, “Kalau ada seorang perempuan yang menghamba kepada laki-laki, laki-laki yang menghamba kepada perempuan, atau seorang bawahan menghamba pada bosnya, itu tengok ulang akidahnya.”
Kedua, Ninin mengingatkan peran manusia sebagai pemimpin di muka bumi (Kholifah fil ardh). Ia menukil an-Nahl ayat 97.
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya, “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.”
“Di sana dikatakan laki-laki maupun perempuan. Berbuat baik sebagai khalifah di bumi ini salah satunya mengemban misi dakwah, menjadi aktor perdamaian,” terangnya.
Namun Ninin menyadari, tantangan perempuan luar biasa di tengah negara yang patriarki ini. Aktivis perempuan yang pulang malam akan mendapat stigma dari tetangganya, berbeda jika aktivis laki-laki yang melakukannya.
Ninin pun mengajak peserta belajar dari kata Sejarahwan Yuval Noah Harari, “Jangan pernah menganggap remeh kedunguan manusia. Jika sekelompok kecil saja manusia membuat keputusan yang tidak bijak, perang bisa saja kembali, dibutuhkan begitu banyak manusia bijak untuk membuat perdamaian, namun cukup satu orang bodoh untuk memulai perang.”
“Upaya mewujudkan perdamaian kini bukan lagi sekedar mencegah perang tetapi juga membangun kesadaran tentang kesia-siaan untuk saling perang beserta dampak kerusakan yang ditimbulkan dari konflik yang berujung perang.”
Bodoh yang dimaksud, kata Ninin, ialah tidak bisa menerima perbedaan. Dari sini, ia menekankan, “Dibutuhkan banyak aktor perdamaian!”
Untuk menjadi aktor perdamaian, Ninin mengajak peserta memahami, Indonesia bukan milik salah satu agama (tidak radikal). Selain itu, Indonesia tidak mengeluarkan fatwa terkait agama dalam bernegara artinya tidak sekuler Indonesia bukan negara agama tapi negara yang beragama.
Ia juga mengajak peserta membedakan. Agama adalah pedoman hidup, landasan pergerakan, laku kehidupan dalam semua aspek dan nilai agama itu maslahat. Sementara negara adalah wadah di mana kita berinteraksi dengan masyarakat yang berbeda-beda.
“Jadi bernegara itu butuh landasan agama, dan tak ada satupun agama yang mengajarkan umatnya untuk menjadi jahat,” tegas Koordinator Peace Gen Chapter Solo ini. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni