PWMU.CO – Fenomena unik. Kata itu rasanya pas untuk menggambarkan Kajian Menjelang Berbuka yang diselenggarakan oleh Majelis Tabligh Pimpinan Ranting Muhammadiyah Golokan, Kecamatan Sidayu, Kabupaten Gresik, Jawa Timur.
Saya yang didapuk menjadi penceramah pada edisi Sabtu (30/3/2023) di Masjid Al-Falah Golokan menjadi saksi atas keunikan kajian yang diadakan setiap hari selama Ramadhan ini.
Keunikan pertama, kajian ini diikuti oleh sekitar 1.100 warga Desa Golokan, baik laki-laki maupun perempuan, tua dan muda. Bagi saya untuk ukuran kajian buka bersama, itu jumlah yang luar biasa. Bahkan tiap hari mereka mengikuti kajian ini yang tempatnya berpindah dari masjid ke mushala atau dari mushala ke mushala.
Penceramahnya pun juga hebat-hebat karena dihadirkan dari luar kecamatan atau kabupaten, terutama untuk hari Kamis dan Sabtu yang diadakan di Masjid Al-Falah.
Dari daftar penceramah yang terpampang besar di sisi timur masjid, tercatat ada Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Gresik Thoha Maksun, Wakil Ketua PDM Gresik Anas Thohir, Wakil Ketua PDM Lamongan Masroin Assafani, Direktur Rumah Sakit Aisyiyah Siti Fatimah Sidoarjo dr Tjatur Prijambodo, dan lainnya.
Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah (PRM) Golokan Sadili mengungkapkan, Muhammadiyah di desa ini memiliki satu masjid besar berlantai dua bernama Al-Falah. Luas tanahnya sekitar 750 meter persegi.
Selain Masjid Al-Falah, PRM Golokan mengelola 14 mushala. Jumlah itu cukup besar karena lebih separuh dari jumlah RT yang ada di desa tersebut, yakni lima RW (rukun warga) dan 27 RT (rukun tetangga).
Dia menambahkan, banyaknya tempat ibadah yang dikelola oleh PRM Golokan karena warga Muhammadiyah di ini termasuk mayoritas, dari sekitarnya 4.000 warga desa. “Jumlah warga Muhammadiyah ada 60 persen,” katanya.
Menurut Sadili, persentase tersebut menurun karena masuknya warga pendatang non-Muhammadiyah, di antaranya lewat pernikahan. “Dulu persentase warga Muhammadiyah mencapai 80 persen,” katanya. Warga non-Muhammadiyah yang dimaksud ialah warga Nahdlatul Ulama (NU) dan kelompok salafi.
Sekretaris PRM Golokan Miftahul Jannata menambahkan, sayangnya jumlah Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah (MIM) di Golokan, bahkan di Kecamatan Sidayu, cuma ada satu. “Padahal di desa dan kecamatan lain, seperti Kecamatan Ujungpangkah ada enam MIM,” kata Kepala MIM Golokan tersebut.
Meski begitu PRM Golokan punya kehebatan lain dengan adanya Sekolah Luar Biasa (SLB) dari level SD hingga SMA. “Ini satu-satunya SLB yang dipunyai Muhammadiyah Kabupaten Gresik,” ujar pria asli Sukodadi Kabupaten Lamongan itu.
Miftahul menambahkan selain masjid, mushala, dan sekolah, PRM Golokan memiliki satuu swalayan bernama Surya Mart.
Pengajian Tepat Waktu
Keunikan kedua dari Kajian Menjelang Berbuka PRM Golokan adalah ketepatan waktu acara. Sebelum kajian dimulai pukul 16.00, jamaah sudah memenuhi ruangan masjid. Tepat pukul 16.00 kajian langsung dimulai.
Ketua Majelis Tabligh PRM Golokan Muhammad Rodli yang menghubungi saya untuk menjadi salah satu penceramah di kajian tersebut satu hari sebelumnya sudah mengingatkan hal itu. “Mbenjeng (besok) Njenengan (Anda) usahakan hadir sebelum jam 16.00 Ustadz. Kalau Njenengan hadir lebih dari jam 16.000, jamaah sudah gelisah,” tulis dia dalam chat WhatsApp, Jumat (29/3/2024).
Menurut Sadili, warga desa Golokan mempunyai tradisi tepat waktu tidak hanya saat mengikuti kajian tersebut. “Warga kami juga tepat waktu bila menghadiri undangan resepsi pernikahan,” kata Kepala UPT SD Negeri 261 Gresik tersebur.
Berkaitan dengan kedisiplinan itu pula dia berpesan pada saya agar mengakhiri ceramah tepat pukul 17.00. Kajian memang berlangsung satu jam, tanpa tanya jawab atau diskusi.
Usai saya mengucapkan salam, jamaah pun langsung bubar. Mereka membawa pulang satu bingkisan berbuka puasa yang berisi nasi lengkap dengan lauk-pauk, buah, dan air minum.
Sadili menjelaskan, sebelum wabah Covid-19 melanda, kajian dilaksanakan sampai Maghrib dan jamaah makan bersama di masjid yang disediakan secara tlaningan alias per piring. “Sekarang piring-piring itu masih ada,” kata dia.
Namun, dia melanjutkan, saat pandemi Covid-19, kebiasaan makan bersama itu diubah dengan membungkus makanan lengkap tersebut untuk disantap di rumah masing-masing. “Kebiasaan selama Covid-19 itu akhirnya terbawa sampai sekarang,” ujarnya.
Menurut Sadili, dana makan tersebut diperoleh dari swadaya masyarakat. Dengan kalkulasi kasar, dia membeberkan misalnya harga nasi per paket bingkisan berbuka itu Rp 10 ribu, maka sehari dibutuhkan 1.100 x Rp 10 ribu = Rp 11 juta. Bisa dihitung sendiri berapa kebutuhan dana dalam 30 hari puasa Ramadhan.
Dua keunikan di atas langsung saya jadi pembuka ceramah bertema Dzikir, Tafakur, dan Ketundukan Hamba. “Kajian ini luar biasa. Baru kali ini saya menghadiri pengajian dengan peserta sebanyak ini yang hadir lengkap sebelum acara dimulai. Ini menginspirasi.”
Yang juga unik, kajian yang diadakan oleh Muhammadiyah ini juga diikuti warga Nahdliyin. Beberapa warga Muhammadiyah-Salafi (Musa) seperti Muhammad Ikhwan.
Menurut Sadili itu menunjukkan keguyuban warga Desa Golokan masih terjaga. Seperti juga adab menghormati tamu. Usai berjamaah shalat Maghrib saya pun diajak beramah tamah— maksudnya makan berbuka puasa—di rumah Mahmuddin, salah satu jamaah yang rumahnya berada di sisi utara Masjid Al-Falah. Kata Sadili, tuan rumah ramah tamah ini bergilir dari warga ke warga.
Maka saya pun menyantap tiga potong ayam yang dimasak kare ala Sunda (istri Mahmuddin asli Sunda). Kok banyak ayam yang saya santap? Karena saya sedang puasa dalam puasa. Tidak mengonsumsi nasi serta jenis karbohidrat lainnya dan gula. Jadi, tiga potong itu sebagai ganti nasi, he-he-he. (*)
Penulis Mohammad Nurfatoni, Pemimpin Redaksi PWMU.CO