Keterkaitan antara Larangan Suap-menyuap dengan Ayat-Ayat Puasa Ramadhan; Oleh Dr Syamsudin MAg,Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Dosen Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya.
PWMU.CO – “Dan janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara batil dan janganlah pula membawa harta itu kepada para penguasa, supaya kalian dapat memakan harta benda orang lain itu dengan cara berbuat dosa, padahal kamu mengetahui.” (al-Baqarah 188).
Di dalam al-Qur’an, dalil puasa Ramadhan terhimpun dalam satu kelompok ayat, yaitu surah al-Baqarah ayat 183-187. Di luar itu tidak ada lagi ayat yang berkenaan dengan puasa Ramadhan. Ayat setelahnya, yaitu ayat 188 menjelaskan larangan mencari harta lewat cara-cara yang batil, terutama praktik suap-menyuap kepada para penguasa.
Di antara cabang ‘ulum al-Qur’an ada yang namanya ilmu munasabah. Yaitu cabang ilmu-ilmu al-Qur’an yang mengungkap keterkaitan antara satu surat atau kelompok ayat dengan surat atau kelompok ayat lain.
Dalam hadits Nabi dinyatakan penyuap dan yang disuap adalah terlaknat.
Kedudukan ilmu ini cukup urgen dalam rangka menjadikan keseluruhan ayat al-Qur’an sebagai satu kesatuan yang utuh (holistik). Dengan pendekatan ilmu munasabah ini, bisa diketahui hubungan atau keterkaitan antara puasa Ramadhan dengan rasuah atau suap menyuap.
Risywah atau rasuah diambil dari kata rasya yang semula bermakna tali pengikat timba yang dipakai mengambil air di sumur. Selanjutnya ia didefinisikan sebagai praktik suap-menyuap. Yaitu menyerahkan sejumlah harta kepada seseorang agar ia bisa melawan kebenaran (ibthalu haqqin), bahkan kemudian masuk ke dalam kebatilan itu sendiri. Dalam hadits Nabi dinyatakan penyuap dan yang disuap adalah terlaknat. Dan justru karena dinyatakan dilaknat itulah maka ia terbilang sebagai dosa besar (kaba’ir).
Ulama telah berijmak bahwa penegak hukum atau para penguasa yang menerima suap hukumnya haram. Baik putusannya menguntungkan atau merugikan penyuapnya. Jika terlanjur menerimanya maka ia wajib mengembalikannya. Jika sulit dilacak jati diri penyuapnya, maka harta suap tersebut dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, (Taudhih al-Ahkam, IV/368).
Syaikh ibn Utsaimin mengatakan, dosa besar adalah setiap dosa yang diancam dengan ancaman khusus. Di antaranya adalah setiap kemaksiatan yang pelakunya dilaknat Allah, seperti rasuah atau suap-menyuap.
Keterkaitan antara Puasa dengan Suap-menyuap
Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsir al-Munir, memberikan komentar yang relatif panjang atas ayat larangan suap-menyuap, sebagaimana terdapat pada al-Baqarah 188. Menurutnya terdapat munasabah atau kaitan antara kelompok ayat puasa dengan ayat berikutnya, yaitu al-Baqarah 188.
Dijelaskan salah satu keistimewaan al-Qur’an adalah lembutnya perpindahan dari satu tema bahasan kepada tema bahasan yang berikutnya, dan selalu ada hubungan di antara kedua tema bahasan tersebut. Dalam hal ini adalah tema bahasan puasa dengan tema bahasan larangan mencari harta lewat cara yang batil.
Keharaman mencari harta dengan cara yang batil sifatnya sepanjang masa dan di mana pun kejadiannya. Berbeda dengan larangan makan dan minum pada saat puasa, ia dibatasi oleh waktu tertentu. Yaitu sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari.
Mereka yang mampu mengendalikan nafsunya saat puasa, tentu mampu juga untuk mengendalikan dirinya dari makanan dan minuman yang haram.
Seakan dikatakan kepada mereka yang berpuasa, “Wahai kalian yang telah menjalankan ibadah puasa, karena kalian telah taat kepada perintah Allah, yaitu meninggalkan makan dan minum sejak terbitnya fajar hingga tenggelamnya matahari, maka taatlah juga kepada perintah Tuhanmu untuk tidak mencari harta dengan cara batil, yang haramnya dalam segala waktu dan keadaan.
Mereka yang mampu mengendalikan nafsunya saat puasa, tentu mampu juga untuk mengendalikan dirinya dari makanan dan minuman yang haram. Cukupkanlah dirimu dengan yang halal. Makanan yang halal akan menerangi kalbumu, menajamkan mata hatimu, dan membawamu kepada kuat ibadah sepanjang hayat, (at-Tafsir al-Munir, I/530).
Kemudian Allah SWT, menjelaskan jenis yang paling busuk dari semua praktik mencari harta secara batil adalah menyuap para penguasa agar memberikan putusan yang tidak benar kepada lawannya. Para pemuja hawa nafsu memanfaatkan kelemahan para penegak hukum sebagai manusia biasa. Dirayu dengan limpahan harta agar bersedia memutuskan hukum sesuai dengan kehendaknya. Itulah cara paling busuk diantara cara-cara mencari harta secara batil.
Dua Bentuk Suap-menyuap
Az-Zuhaili menjelaskan menyuap penegak hukum dalam rangka mencari harta lewat cara yang batil bisa muncul dalam dua bentuk. Pertama, menyuap hakim, agar ia memberikan putusan batil sesuai pesanannya. Dengan demikian penyuap bisa memperoleh harta yang sejatinya bukan haknya.
Kedua, menyuap hakim agar ia membebaskan pelaku kejahatan dari jerat hukum melalui praktik akrobat hukum. Seperti memutarbalikan fakta, sumpah palsu, dan kesaksian yang direkayasa. Praktik inilah yang diperingatkan nabi Muhammad SAW, dalam hadis shahih yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Ummu Salamah.
Ia menceritakan, datang dua orang yang bersengketa harta waris kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau menyampaikan sabdanya: “Sesungguhnya saya manusia biasa, sementara kalian bersengketa di hadapanku. Bisa saja sebagian kalian lebih lihai dengan argumentasinya, sementara aku memutuskan perkara sesuai dengan yang aku dengar. Maka barang siapa yang memperoleh keuntungan dari hak saudaranya sebab keputusanku, maka hendaklah ia tidak mengambilnya. Jika ia mengambilnya maka sesungguhnya aku telah memutuskan untuknya satu potong api neraka (HR al-Bukhari, Nomor 7169).
Praktik penyuapan kepada penegak hukum sejatinya adalah tindakan penghamburan uang yang dilarang syariat.
Mendengar sabda Nabi SAW seperti itu, sontak menangislah dua orang yang bersengketa tadi. Keduanya mengatakan, “aku halalkan bagianku untuk saudaraku.” Selanjutnya Nabi SAW mengatakan, “Pergilah kalian berdua, bersaudaralah, berbagilah, dan hendaklah setiap orang menghalalkan untuk saudaranya.”
Dari paparan di atas bisa ditarik empat kesimpulan: Pertama, haram hukumnya mempermainkan keadilan dengan menggunakan kelihaian kuasa hukumnya (wukala ad-da’awa).
Kedua, haram hukumnya mengambil harta yang bukan menjadi haknya, kendati pun hal tersebut hasil dari memenangkan perkara di pengadilan. Hakim adalah manusia biasa yang diliputi kelemahan. Ia memutuskan perkara berdasarkan fakta-fakta dalam pembuktian di pengadilan. Putusan hakim tidak bisa mengubah yang haram menjadi halal ataupun sebaliknya. Orang beriman harus tetap memperhatikan dan merenungkan pengadilan akhirat, di mana hakimnya adalah Allah yang Ahkamul Hakimin.
Ketiga, praktik penyuapan kepada penegak hukum sejatinya adalah tindakan penghamburan uang yang dilarang syariat.
Keempat, mengambil hak orang lain sedikit ataupun banyak, dengan cara apapun, adalah perilaku kefasikan yang diharamkan oleh Allah dan rasul-Nya (at-Tafsir al-Munir, I/534). (*)
Editor Mohammad Nurfatoni