PWMU.CO – Belakangan ini warga Muhammadiyah kembali dibikin galau oleh beredarnya postingan “Kitab Fikih Jilid III”, terbitan Taman Poestaka Muhammadiyah edisi 1343 H/ 1925 M, Djokjakarta. Apalagi dalam postingan itu diikuti rekaman komentar sinis oleh Marzuki Mustamar yang beredar di YouTube. Kitab kuning tersebut dijadikan alat untuk menyudutkan Muhammadiyah sebagai “pembangkang” dan “pengkhianat” terhadap ajaran Kiai Ahmad Dahlan.
Dikatakan, tuntunan ibadah Muhammadiyah menurut buku dimaksud sama dengan Nahdliyin. Seperti, niat shalat memakai bacaan lafadz: “Ushalli Fardha…”; setelah takbir membaca “Allahu Akbar Kabira Walhamdulillahi Katsira…”; setiap shalat Subuh membaca doa Qunut; membaca shalawat dengan memakai kata “Sayyidina”; shalat Tarawih 20 rakaat, tiap 2 rakaat 1 salam.
Sejatinya, persoalan ini sudah mengemuka sejak beberapa tahun lalu, hingga Majalah Tempo pun merasa perlu menurunkan liputan khusus tentang hal tersebut. Beberapa tokoh Pimpinan Pusat (PP) juga telah mengklarifikasinya, seperti Prof Din Syamsuddin, Prof Yunahar Ilyas, Prof Muhadjir Effendy, Dr Haedar Nashir, dan Dr Abdul Mu’thi.
Jika disarikan, terdapat beberapa poin penting. Pertama, otentisitas (keaslian) kitab atau buku tersebut perlu diuji secara akademik oleh ahli filologi. Sebab, bentuk tulisan agak meragukan. Di antaranya khat (tulisan Arabnya) sudah agak modern, tidak seperti khat kitab-kitab kuning kuno, apalagi tahun 1924. Pada tiga halaman pertama terkesan lebih modern dan dicetak tebal, berbeda dengan halaman-halaman berikutnya. Juga tidak ada penyebutan penulis (Ahmad Dahlan), kecuali hanya Taman Pustaka Muhammadiyah.
Kedua, seandainya kitab itu benar dari Muhammadiyah atau KH Ahmad Dahlan, maka wajar dan tidak ada masalah, karena interaksi KH Ahmad Dahlan dengan guru yang berpandangan demikian (seperti KH Saleh Darat, Ahmad Khatib, dan syaikh-syaikh lain di Mekkah).
Apalagi pada periode awal, fikih belum menjadi concern utama KH Ahmad Dahlan (Muhammadiyah), tapi lebih pada pembaruan pemikiran, lebih sibuk pada feeding (panti asuhan), healing (rumah sakit), dan schooling (sekolah). Masalah fikih dalam Muhammadiyah baru mulai ditata setelah terbentuk Majelis Tarjih pada tahun 1927.
Ketiga, Muhammadiyah bukan Dahlaniyah, dan perkembangan faham keagamaan bersifat dinamis (berkemajuan) dari masa ke masa. Seperti pada gerakan-gerakan keagamaaan lainnya, ideologisasi berlangsung pada tokoh-tokoh pasca pendiri.
Seperti Ikhwanul Muslimin (IM) oleh Sayyid Qutb, Nahdlatul Ulama (NU) oleh Wahab Hasbullah, dan Muhammadiyah oleh Mas Mansyur. Muhammadiyah sebagai gerakan, sangat bertumpu pada sistem, institutionalized, dan bukan berorientasi personal apalagi dengan kultus individu. Begitu pula, wawasan keagamaannya bertumpu pada ijtihad jama’i (ijtihad kolektif). Itulah Islam Berkemajuan.
Maka kitab tersebut tidak ada masalah bagi warga Muhammadiyah, bahkan menjadi penguat ormas Islam bersimbol matahari ini sebagai gerakan tajdid yang tidak taqlid buta.
Keempat, di kalangan fuqaha, perbedaan atau perubahan pemikiran sangat mungkin terjadi, sejalan dengan perubahan ruang dan waktu. Seperti pada Imam Syafi’i dengan qaul qadim dan qaul jadid-nya. Begitu pula Ahmad Dahlan.
Kelima, terkait tuduhan sebagai “pembangkang” dan “pengkhianat” terhadap ajaran Kiai Dahlan. si penuduh memakai logika bahwa yang paling pintar di organisasi itu, ya pendirinya. Kalau NU, Mbah Hasyim Asyari, kalau Muhammadiyah Kiai Dahlan. Karena itu, para pengikutnya harus taat mengikuti ajarannya.
Atas dasar kitab yang ditemukan itu, disimpulkan bahwa Muhammadiyah sudah melenceng dari ajaran Kiai Dahlan. Padahal, Muhammadiyah dibangun atas dasar logika yang berbeda. Dalam prinsip ibadah, Muhammadiyah itu merujuk pada Nabi, bukan Kiai. Keenam, ditengarai ada upaya untuk mengonstruksi masyarakat bahwa Muhammadiyah dahulu adalah Islam tradisional dan Syafi’iyah yang kini jati dirinya telah terkikis.
Upaya itu lantas dimanfaatkan secara kurang bijak oleh beberapa pihak untuk memojokkan warga Muhammadiyah sebagai “pembelot” terhadap pendirinya.
Oleh karena itu dalam menyikapi berita tersebut, para kader diimbau tidak perlu resah. Muhammadiyah harus terbuka menerima masukan dan informasi dari berbagai pihak. Berita itu tidak perlu dijadikan masalah, karena dalam urusan-urusan ibadah, selalu merujuk pada praktik Rasulullah.
Bagi Muhammadiyah, ukhuwah Islamiyah dan persatuan umat adalah segala-galanya. Kalau Muhammadiyah dan NU terjalin ukhuwah yang kokoh, bersatu dan menjadi satu kesatuan, maka untuk membereskan persoalan bangsa ini akan lebih mudah. Disadari bahwa terlalu banyak pihak yang ketakutan kalau NU dan Muhammadiyah bersatu.
Mereka terus berusaha menjauhkan NU dan Muhammadiyah, bahkan menabrakkan satu sama lain. Makanya, kita harus waspada, jangan mau diadu domba terus-menerus. Sing waras ngalah.(*)
Oleh Nadjib Hamid, Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim. Artikel ini kali pertama dimuat di Majalah MATAN.