PWMU.CO – Dalam beberapa hari terakhir ini, beredar ceramah tentang keutamaan puasa dan amalan di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah. Melalui media sosial, terutama Facebook dan WhatsApp, ceramah ini juga dilengkapi dengan teks Arab. Bahkan dalam beberapa postingan disebutkan jika “teks” itu disandarkan pada sahabat Nabi Muhammad saw, yaitu Ibnu Abbas ra.
Disebutkan dalam ceramah itu jika 10 hari pertama Dzulhijjah berkaitan dengan berbagai peristiwa besar umat Islam, sehingga melakukan puasa atau ibadah lainnya punya keutamaan tertentu. Misalnya saja, pada hari pertama bulan Dzulhijjah Allah mengampuni Nabi Adam as, dan barangsiapa yang berpuasa pada hari tersebut Allah swt akan mengampuni seluruh dosanya.
Kemudian di hari kedua adalah saat Allah swt mengabulkan doa Nabi Yusuf, dan barangsiapa yang berpuasa di hari itu pahalanya seperti beribadah kepada Allah setahun penuh dan tidak bermaksiat walau sekejap mata. Serta dan lainnya.
(Baca juga: Uji Keshahihan Hadits tentang Keutamaan Puasa Awal Dzulhijjah)
Redaksi teks –yang seolah-olah hadits– tersebut adalah sebagai berikut:
روي عن ابن عباس رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال: في أول يوم من ذي الحجة غفر الله فيه لآدم ومن صام هذا اليوم غفر الله له كل ذنب. وفي اليوم الثاني استجاب الله لسيدنا يوسف، ومن صام هذا اليوم كمن عبد الله سنة ولم يعص الله طرفة عين
وفي اليوم الثالث استجاب الله دعاء زكريا، من صام هذا اليوم استجاب الله لدعاه. وفي اليوم الرابع ولد سيدنا عيسى عليه السلام، ومن صام هذا اليوم نفى الله عنه البأس والفقر وفي يوم القيامة يحشر مع السفرة الكرام. وفي اليوم الخامس ولد سيدنا موسى عليه السلام، ومن صام هذا اليوم برئ من النفاق وعذاب القبر
وفي اليوم السادس فتح الله لسيدنا محمد بالخير، ومن صامه ينظر الله إليه بالرحمة ولا يعذبه أبدا. وفي اليوم السابع تغلق فيه أبواب جهنم، ومن صامه أغلق الله له ثلاثين بابا من العسر وفتح الله له ثلاثين بابا من الخير. وفي اليوم الثامن المسمى ” بيوم التروية “، ومن صامه أعطى له من الأجر ما لا يعلمه إلا الله
وفي اليوم التاسع وهو يوم عرفة من صامه يغفر الله له سنة من قبل وسنة من بعد. وفي اليوم العاشر يكون عيد الأضحى وفيه قربان وذبح ذبيحة ففي أول قطرة من دماء الذبيحة يغفر الله ذنوبه وذنوب أولاده. ومن أطعم فيه مؤمنا وتصدق بصدقة بعثه الله يوم القيامة آمنا ويكون ميزانه أثقل من جبل أُحد
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi shallaallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
1. Di hari pertama bulan Dzulhijjah Allah mengampuni Nabi Adam, dan barangsiapa yang berpuasa pada hari tersebut Allah akan mengampuni seluruh dosanya.
2. Di hari kedua Allah mengabulkan doa sayyidina Yusuf, dan barangsiapa yang berpuasa di hari itu pahalanya seperti beribadah kepada Allah setahun penuh dan tidak bermaksiat walau sekejap mata.
3. Di hari ketiga Allah mengabulkan doa Zakaria, dan barangsiapa yang berpuasa pada hari itu Allah akan mengabulkan doanya.
4. Di hari keempat lahir sayyidina ‘Isa as, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan menghilangkan kefakiran darinya dan pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama malaikat yang mulia.
5. Di hari kelima lahirlah Musa as, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu ia akan dibebaskan dari sifat munafik dan adzab kubur.
6. Di hari keenam Allah membukakan sayyidina Muhammad saw kebaikan, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan melihatnya dengan rahmat-Nya dan ia tidak akan diadzab.
7. Di hari ketujuh ditutup pintu-pintu jahannam, dan barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan tutup baginya 30 pintu kesulitan dan Allah bukakan baginya 30 pintu kebaikan.
8. Di hari kedelapan yang disebut juga dengan hari Tarwiyah, barangsiapa berpuasa pada hari itu akan diberi balasan yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali Allah.
9. Di hari kesembilan yaitu hari Arafah barangsiapa berpuasa pada hari itu Allah akan mengampuni dosanya selama setahun sebelumnya, dan setahun sesudahnya.
10. Di hari kesepuluh yaitu Idul Adha, di dalamnya terdapat qurban, penyembelihan, dan pengaliran darah (hewan qurban), Allah akan mengampuni dosa anak-anaknya (yaitu orang yang berpuasa tadi). Barangsiapa yang memberi makan orang mukmin dan bershadaqah, maka Allah akan mengutus baginya pada hari kiamat, keamanan dan timbangannya lebih berat dari Gunung Uhud.”
(Baca juga: Doa Memasuki Bulan Rajab dan Bagaimana Tuntunan Puasa Rajab?)
Lantas bagaimana menentukan teks “hadits” ini shahih atau sebaliknya? Dalam tradisi Ilmu Hadis, penelitian hadits dikenal dengan istilah “takhriij al-hadiits, yakni mengungkap hadits kepada kitab-kitab sumber aslinya berikut sanadnya sekaligus menjelaskan derajat kualitas dan status hukum hadis tersebut.
Untuk melakukan takhriij atau penelitian hadits, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah mengumpulkan data-data hadits yang sedang diteliti dari berbagai kitab hadits yang memuat sanad dan matannya.
Yang disebut sanad adalah jalur periwayatan yang terdiri dari orang-orang (atau disebut perawi), sambung-menyambung dari satu perawi ke perawi yang lain hingga sampai kepada shahabat Nabi dan diri Rasulullah saw sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan matan adalah isi hadits, baik berupa perkataan nabi, tindakan maupun sikap diam beliau.
(Baca juga: Bagaimana Tuntunan Puasa Sya’ban? dan Adakah Tuntunan Islam tentang Rebu Wekasan?)
Adapun kitab yang memuat sanad dan matan hadits memang sangat banyak. Namun diantara yang terkenal adalah “Shahih Bukhari”, “Shahih Muslim”, “Sunan Abu Dawud”, “Sunan Turmudzi”, “Sunan An-Nasa’i”, dan “Sunan Ibnu Majah”, yang biasa dikenal dengan istilah “kutubussittah” (kitab yang enam).
Selain “kutubussittah”, ulama hadits juga memberikan beberapa sebutan lain kepada kitab-kitab kumpulan hadits. Ada yang disebut kutubus sab’ah, yang berarti kitab tujuh, merujuk pada “kutubus sittah” plus “Musnad Ahmad”. Belakangan juga ada istilah “kutubuttis’ah”, atau kitab sembilan, yang ditujukan kepada “kutubussab’ah” plus Al-Muwaththa’ Imam Malik dan Sunan Ad-Darimi.
Jika dilakukan manual, memang takhriij membutuhkan waktu yang sangat lama untuk menentukan status hadits. Namun, dengan kecanggihan teknologi, kini telah banyak berbagai aplikasi yang menyediakan berbagai kumpulan hadits lengkap sanad dan matannya.
(Baca juga: Masih Bingung Ibadah Nishfu Sya’ban? Inilah Penjelasan Lengkapnya dan Hadits-Hadits Palsu Seputar Nishfu Sya’ban)
Sebagai contoh, aplikasi “al-Maktabah asy-Syamilah” yang memuat ratusan kitab kumpulan hadits, dengan cara mengetik “kata” yang akan diteliti, maka akan langsung ditemukan posisi hadits dalam kitab-kitab hadits itu. Jika sebuah hadits yang sedang diteliti itu termaktub dalam berbagai kitab hadits, maka penelitian tentang keshahihan hadits baru bisa dilanjutkan. Sementara jika tidak ada, bisa dipastikan bahwa hadits tersebut adalah palsu.
Terkait dengan hadits tentang 10 awal bulan Hijriyah, setelah redaksi PWMU.CO meneliti dalam berbagai kitab hadits, ternyata tidak dapat menemukan hadits tersebut. Apakah hal ini disebabkan para penulis lupa sehingga tidak mencantumkan hadits tersebut di kitab-kitabnya, atau memang Nabi Muhammad Saw tidak pernah bersabda seperti itu?
Jika Nabi pernah bersabda demikian, maka hadits tersebut akan mudah ditemukan atau paling tidak ada catatan yang menunjukkan bahwa sahabat Nabi, tabi’in dan ulama salaf pernah mengamalkan maksud hadits tersebut. Namun, ternyata dalam sejarah tidak pernah ada ulama atau tokoh agama yang mengamalkan hadits. Ini berarti hadits tentang puasa dan amalan di 10 hari pertama bulan Dzulhijjah itu tidak memiliki sanad dan rawi.
(Baca juga: Mengkafirkan dan Mencaci Pelaku Bid’ah Bukanlah Ajaran Muhammadiyah. Begini Tutur Pak AR)
Dalam keilmuan hadits, hadits yang tidak bersanad dan berrawi ini sering disebut sebagai hadits ”laa ashla lahu”. Semua hadits yang ”laa ashla lahu” adalah maudhu’ atau palsu, sebuah status hadits yang paling lemah.
Bukankah hadits palsu tersebut bertujuan baik agar umat Islam melakukan kebaikan? Tentu saja alasan semacam ini tidak bisa dibenarkan karena Nabi Muhammad sendiri menyampaikan kecaman keras bagi siapa saja yang berdusta atas nama dirinya. Sementara menyebarluaskan hadits palsu adalah bagian dari dusta atas nama Nabi saw.
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhari, Rasulullah Muhammad saw bersabda:
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ عُبَيْدٍ عَنْ عَلِيِّ بْنِ رَبِيعَةَ عَنْ الْمُغِيرَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim telah menceritakan kepada kami Sa’id bin ‘Ubaid dari ‘Ali bin Rabi’ah dari Al Mughirah ra berkata; Aku mendengar Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya berdusta kepadaku tidak sama dengan orang yang berdusta kepada orang lain. Barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja maka hendaklah dia bersiap-siap mendapat tempat duduknya di neraka. (HR Bukhari)
(Baca juga: Redaksi Takbiran: Allahu Akbar 2 atau 3 Kali? dan Mengangkat Tangan atau Tidak dalam Takbir Tambahan Shalat Idul Fitri-Adha?)
Bagi masyarakat Islam, terutama para muballigh atau penceramah agama harap berhati-hati dalam berhujjah dengan hadits nabi saw. Tidak gegabah menisbatkan suatu pernyataan dari Nabi Muhammad saw, sebelum memperoleh kepastian bahwa hal tersebut adalah “riwayat maqbulah” (riwayat yang diterima).
Sebagai tambahan, tentang puasa sunnah menyongsong Idul Adha ini, menurut hadits Nabi saw hanya satu hari, yaitu tanggal 9 Dzulhijjah (Arafah) bagi orang yang tidak berhaji. Sementara untuk yang tanggal 8 Dzulhijjah, yang biasa dikenal hari Tarwiyah, redaksi PWMU.CO secara khusus juga mengulasnya dalam tulisan tersendiri: Adakah Tuntunan Puasa Tarwiyah sebelum Idul Adha, 8 Dzulhijjah?. (kholid abu abqarayya)