Cerita Dua Kader PCNA Sidayu sebagai Relawan Gempa Bawean

Kegiatan relawan bersama masyarakat Bawean (Istimewa/PWMU.CO)

PWMU.CO – Dua kader PCNA Sidayu jadi relawan gempa Bawean yang mengguncang daerah perairan laut Tuban, Jawa Timur Jumat (22/3/2024) lalu. 

Gempa berkekuatan 6,1 SR ini tidak berpotensi tsunami tapi diikuti ratusan gempa susulan hingga sekarang. Dampak gempa bumi merusakkan pemukiman maupun fasilitas umum yang ada di sekitar pusat titik gempa, salah satunya adalah di Pulau Bawean.

Ada tiga desa yang rumah dan bangunan lainnya rusak parah. Namun dampak secara psikologis secara umum dirasakan oleh masyarakat Bawean mengingat ini adalah bencana alam kali pertama setelah puluhan tahun.

Bersama dengan tim MDMC dann Generasi Muda Pecinta Alam (Gempa), Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah (PDNA) Gresik memberangkatkan beberapa relawan tanggap bencana dari Pimpinan Cabang Nasyiatul Aisyiyah (PCNA) pada 28 Maret-3 April 2024. 

Mislanya PCNA Sidayu mengirim dua kader terbaiknya. Yaitu Arifatin dari Pimpinan Harian dan Anggota Departemen Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana Norma Ismayucha. Kedunya bertugas di beberapa desa dan dusun: Sungai Teluk, Diponggo, Sungai Rujiing, Balikbak Hilir, Balikterus, serta Posko Pelayanan Masjid As-Shalihen. 

Norma mengungkapan relawan tanggap bencana ini dibagi menjadi beberapa tim. Yakni tim medis yang mendata dan memeriksa tekanan darah, tim psikososial yang membantu penanganan psikososial berupa trauma healing, dan tim yang bertugas untuk membuat laporan dan dokumentasi kegiatan harian. 

Gempa bumi ini berdampak pada kesehatan masyarakat, ketakutam trauma seperti: pusing, sering kaget, hipertensi, tegang otot, kurang tidur, dan nafsu makan berkurang. “Saya bersama tim dari psikososial selama di Bawean melakukan recovery psikologi,” ungkap Arifatin, Ahad (7/4/2024)

Menurutnya, gempa bumi yang berkekuatan besar dan banyaknya gempa susulan ini berdampak bagi masyarakat di Pulau Bawean. Penduduk merasakan kecemasan dan ketakutan sehingga mengganggu aktivitas mereka sehari-hari bahkan ada yang sampai berhenti. 

Para relawan mengajarkan kepada warga untuk melakukan relaksasi terutama kepada perempuan. Hal ini dilakukan setelah tim melakukan survei kepada anak-anak dengan cara  sharing cerita dan mewarnai bahwa dampak dari ketakutan anak-anak ini disebabkan oleh ibunya yang panik.

Dia menjelaskan, sesi hypno breathing ini bertujuan untuk mengurangi rasa panik dan merilekskan anggota tubuh. Terapi ini dilaksanakan di beberapa desa dan warga di sekitar posko. Penduduk memberikan respon positif terkait hal ini karena akhirnya mereka dapat beraktivitas dan tidur dengan nyaman. 

Selanjutnya, terapi tersebut dapat dilaksanakan mandiri di rumah. Beberapa dari mereka pun sudah beraktivitas seperti biasa seperti di pasar maupun para nelayan. Sedangkan, sebagian sekolah untuk saat ini masih diliburkan. 

“Ibarat dulu masyarakat berdamai denga Covid, sakarang masyarakat berdamai dengan gempa seperti yang diterapkan di Jepang jadi perlu adanya edukasi-edukasi tentang gempa bagaimana cara kita menghadapinya denga baik dan benar,” harap Arifatin

Norma menambahkan ke depan ada edukasi dan lebih banyak bantuan manajemen trauma terhadap warga di sana. “Khususnya pada ibu-ibu,” ujarnya. (*)

Penulis Luthfi Dyah Radintari Editor Mohamad Nurfatoni

Exit mobile version