PWMU.CO – Biji bunga teratai, makanan khas Laren Barat ini ramaikan Tabligh Akbar, Senin (29/4/2024) pagi.
Sumber daya alam di Laren Barat sangat melimpah ruah karena dikelilingi oleh rawa-rawa. Khususnya daerah Sapan dan sekitarnya. Rawa-rawa di sana banyak tumbuh tanaman teratai. Biji tanaman air yang memiliki bunga sangat mempesona itu ternyata bisa menjadi makanan.
Sri Wilujeng, salah satu peserta Tabligh Akbar asal desa di Laren Barat menceritakan, “Masyarakat yang ada di Laren Barat sering memanfaatkan biji bunga teratai untuk makanan.”
Hadirnya bunga teratai di rawa-rawa juga menjadi jalan untuk meningkatkan perekonomian warga sekitar. “Di pasar-pasar tradisional desa-desa juga banyak menjual biji bunga teratai. Bunga teratai yang sudah dipisahkan dari bunganya dan dibersihkan, kemudian direbus dan ditambahkan sedikit garam untuk menambah cita rasanya,” terangnya.
Sri Wilujeng lanjut mengenang, pada zaman dahulu, masyarakat di belahan Laren barat memanfaatkan biji bunga teratai sebagai bahan pokok pengganti beras. “Mahalnya beras dan perekonomian yang sangat rendah saat itu, membuat masyarakat harus memutar otak untuk menemukan cara agar tetap bisa bertahan hidup,” ungkapnya.
Mereka memanfaatkan biji bunga Teratai dengan cara direbus. Cara menikmatinya, cukup dikupas kulit luarnya sehingga biji mirip kacang tanah yang bersembunyi di dalam kulit arinya itu bisa dinikmati. Biji yang muda rasanya lebih nikmat daripada biji yang sudah agak tua, rasanya ada pahit-pahitnya.
Ia menyampaikan, hadirnya biji bunga teratai di Tabligh Akbar itu selain mengenalkan makanan khas Laren Barat juga memperkenalkan kepada khalayak bahwa biji bunga teratai bisa diolah menjadi makanan.
Nur Azizah, peserta Tabligh Akbar dari wilayah ujung timur kecamatan Laren, menyatakan, dirinya baru melihat dan merasakan makan biji bunga teratai saat itu. “Saya baru pertama lihat dan makan biji bunga teratai. Selama ini hanya mendengar cerita saja dari teman-teman yang ada di Laren barat,” ungkapnya.
Akhirnya ia bersyukur, “Alhamdulillah hari ini merasakannya. Rasanya seperti biji melinjo rebus, ada pahit-pahitnya.” (*)
Penulis Vivid Rohmaniyah Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni