PWMU.CO – Peran ayah melatih kepemimpinan anak disampaikan Intan Erlita MPsi Psikolog dalam Parenting Milad ke-29 SD Mugeb Gresik, Sabtu (27/4/2024).
Intan Erlita adalah pemilik biro konsultan Titik Putih. Tajuk acara ‘Mendidik dengan Keteladanan dan Cinta, Bergandeng Membersamai Generasi Pemenang Masa Depan’,
Intan mengapresiasi kehadiran beberapa ayah dalam parenting itu. “Karena negara kita, Indonesia, menduduki peringkat yang cukup tinggi di fatherless,” jelasnya.
Intan menyampaikan, jiwa kepemimpinan pada generasi saat ini cenderung masih lemah. “Sekarang itu banyak anak laki-laki yang takut mengambil keputusan,” ungkapnya.
Ia mengajak para wali murid SD Muhammadiyah 1 GKB (SD Mugeb) untuk mengajarkan anak-anak berani mengambil keputusan. “Karena anak kita yang laki-laki suatu saat akan menjadi kepala keluarga. Minimal itu dulu. Insyaallah dibarengi menjadi pemimpin-pemimpin di area lainnya,” ujar peraih sertifikasi praktisi neurosains MyBrain UK ini.
Menurut dia, kemampuan leadership turunnya itu dari ayah. Karena cara ayah ngobrol, cara ayah ngajak anak main, cara ayah untuk segala sesuatu berbeda dengan cara ibu.
Intan memberi ilustrasi perbandingan pola pengasuhan dan pendidikan antara ayah dan ibu. Cara yang berbeda tersebut memengaruhi dalam perkembangan jiwa kepemimpinan anak.
Ia mencontohkan, “Pernah lihat enggak, kalau ayah main dengan anak lebih ke arah fisik, ya. Atau kadang-kadang kalau gendong bayi aja, wah, dilempar-lempar. Betul, enggak? Kita (ibu) yang gini, ‘Ih jangan, jangan, jangan, nanti gini-nanti gitu’.”
Dikatakan, saat anak bermain fisik sama ayahnya, di saat ayah mengatakan, “Hai bro!” dengan gaya laki-laki itu mengasah keberanian dan kepemimpinannya.
Intan menambahkan tentang fenomena fatherless yang sedang marak di media sosial, yang merupakan akibat dari hilangnya figur ayah dalam proses pendidikan dan pengasuhan seorang anak.
“Sekarang itu miris. Fatherless. Di sosial media lihat deh banyak banget kan laki-laki yang keperempuan-perempuanan?” ungkapnya.
Menurutnya, rata-rata mereka tidak berasal dari orangtua yang bercerai. “Enggak, enggak selalu. Orangtuanya utuh, tapi peran ayah hilang sehingga anak laki-laki kehilangan sisi maskulinitasnya,” ujar psikolog berdomisili di Jakarta ini.
Aspek Spiritual
Untuk mencegah hal tersebut terjadi, Intan memberikan anjuran untuk melibatkan anak-anak dalam proses pengambilan keputusan. Dimulai dari hal-hal sederhana yang berhubungan dengan anak-anak itu sendiri.
”Keberanian untuk mengambil keputusan merupakan salah satu poin penting dari jiwa seorang pemimpin yang mampu menghadapi berbagai tantangan global,” katanya.
Intan menceritakan gambaran tantangan generasi muda menghadapi 20 tahun mendatang. Zaman itu tidak lagi persaingan antarmanusia, tetapi antara manusia dengan teknologi artificial intelligence (AI) yang saat ini gencar para ilmuwan kembangkan.
Oleh karenanya, Intan menekankan, pendidikan terkait kematangan emosional dan spiritual sangat penting untuk ditanamkan kepada anak-anak.
“Agar mereka tidak menjadi kalah dibandingkan dengan robot AI yang bila kehabisan daya, tinggal diisi ulang dayanya kemudian bisa kembali bekerja,” terangnya.
Ia menegaskan, yang membuat anak menjadi pemenang di depannya bukan hanya intelektualnya tapi kematangan emosional dan spiritual. ”Karena secanggih-canggihnya ilmuwan gak akan pernah bisa membuat kalbu seperti halnya Allah!”
Lulusan Magister Program Profesi Psikologi Universitas Persada Indonesia ini mengatakan, keunggulan aspek intelektual seperti peraih juara satu atau juara umum hanyalah kemenangan di masa sekarang.
“Kemenangan di masa depan, ketika anak yang tumbuh sebagai individu unggul dalam ilmu dunia, juga mampu menahan diri dari godaan berupa ajakan untuk berbuat hal negatif yang dapat menjadikannya salah jalan. Kekuatan dalam menahan diri ini dapat dibangun dengan cara menghidupkan aspek spiritual pada anak-anak,” jelas ibu empat anak itu.”
Karakter Pemenang
Intan menambahkan, usia 0 – 7 tahun adalah waktu untuk pembentukan karakter. Sehingga menurutnya penting bagi orangtua untuk mengetahui karakter generasi pemenang bukan hanya tentang sukses secara materi, tetapi juga pribadi yamg memiliki jiwa yang kuat dan hebat.
Contoh karakter generasi pemenang itu kemampuan untuk beradaptasi, berinovasi, dan berkolaborasi secara global.
“Seseorang bisa memiliki gagasan bagus dan mampu menulisnya, namun gagap ketika diminta presentasi di depan,” ujar wanita yang mengantongi sertifikasi coach International Coach Federation dan International Coach Agile Amerika itu.
Penyebabnya karena interaksi aktifnya dengan gadget, maka verbalnya tidak terpakai. Dia menganjurkan anak dilatih presentasi sehingga bisa berbicara di depan umum.
Intan lanjut menjelaskan, membangun komunikasi yang efektif bisa dimulai dengan berbincang dengan anak tanpa diselingi memegang gadget. Dengan begitu komunikasi menjadi fokus dan perhatian orangtua terpusat kepada anak.
“Anak merasa diperhatikan, sehingga kalau dia mengalami kesulitan tidak segan bercerita kepada orangtua, bukan ke orang lain atau klub-klub” tuturnya.
Intan menuturkan, kadang orangtua secara tidak langsung memberikan tanda-tanda penolakan kepada anak. Bisa melalui gestur tubuh yang secara tersirat mengisyaratkan orangtua sedang tidak ingin diganggu.
Ia menegaskan pentingnya keterbukaan dari orangtua terhadap anak. Peran ayah dan ibu membangun kedekatan melalui komunikasi efektif.
Ini mengurangi risiko keperluan menghubungi psikolog atau anak terjerumus pada jalan yang salah.
Penulis Septemdira Intan Sari Suprobowati Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Sugeng Purwanto