Haji, Menghampiri Allah dengan Cinta; Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang (terbit 2024) dan sebelas judul lainnya.
PWMU.CO – Labbaika Allahumma labbaik/ Labbaika laa syarika laka labbaik/innal hamda wan ni’mata laka/ wal mulka laka laa syarika lak (Ya Allah, inilah kami datang, kami datang memenuhi panggilan-Mu/Kami datang, tiada sekutu bagi-Mu, kami datang/Sesungguhnya segala puji dan nikmat hanyalah untuk-Mu/dan segala kekuasaan hanyalah ada pada-Mu, tiada sekutu bagi-Mu).
Paragraf pembuka di atas berisi serangkaian kalimat yang keluar dari lisan seorang hamba yang menyambut mesra panggilan dari Allah–Tuhan dia-untuk berhaji ke Baitullah. Pengungkapan serangkaian kalimat itu terasa sangat bertenaga sebab didorong oleh energi iman dan takwa seorang hamba Allah.
Sekarang, perhatikanlah, suasana di sekitar hari-hari ketika umat Islam (akan) berangkat menunaikan ibadah haji. Sebagian dari mereka, tampak lebih sering menangis lantaran terharu. Doa tulus di hari-hari sebelumnya–dan bahkan bisa bertahun-tahun sebelumnya-agar dapat menunaikan haji sudah dikabulkan Allah. Lalu, terbayang-bayang, tibalah saat-saat yang paling indah dalam kehidupan yaitu “berjumpa” dengan Allah di Baitullah sebagai tamu-Nya.
Manifestasi Cinta
Mari cermati relasi antara proses penciptaan manusia dengan pelaksanaan ibadah haji. Pertama,di satu sisi ada ayat-ayat ini: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak” (ar-Rum 20). “Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalam (tubuh)nya ruh(ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali yang bersyukur.” (as-Sajadah 9).
Kedua, lihatlah mereka yang berangkat berhaji! Bagi mereka, berhaji itu manifestasi cinta. Para jamaah haji datang dengan suka-rela, bahkan dengan segenap rasa suka. Labbaika Allhumma labbaik:Ya Allah, kami datang, kami datang, menemui-Mu dengan cinta.
Selanjutnya, mari rasakan relasi kedua hal di atas. Mengapa para jamaah haji datang dengan suka-rela “menemui” Allah? Hal ini karena, seperti yang bisa dirasakan pada as-Sajadah 9 di atas, sudah menjadi fitrah manusia untuk selalu mendekat dan menghampiri Allah Sang Pencipta. Artinya, segala aktivitas manusia dalam usaha menghampiri Allah adalah bagian paling penting dari upaya mereka dalam menemukan kesempurnaan dirinya. Manusia akan terus mendekati kesempurnaan, jika mereka secara terus-menerus berusaha mendekati Allah.
Mengingat Islam adalah agama fitrah maka mudah dimengerti jika kita menemui kenyataan, bahwa dengan cara apapun manusia akan berusaha melaksanakan perintah Allah. Meskipun berat dalam pelaksanaannya, baik yang menyangkut biaya dan tenaga, mereka akan berupaya dengan sungguh-sungguh untuk beribadah haji.
Bagi kaum beriman, cinta kepada Allah membuat yang jauh terasa dekat. Cinta kepada Allah mengubah yang sulit menjadi mudah. Cinta kepada Allah menggeser yang tak enak menjadi nikmat. Cinta kepada Allah “menyulap” yang lemah menjadi kuat. Intinya, cinta kepada Allah telah menjadi sumber energi yang membuat manusia–sebagai seorang hamba Allah–berlari kencang menghampiri Sang Pencipta: Labbaika Allhumma labbaik!
Sempurnakan, Sempurnakan!
Perhatikan ayat ini: “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umrah karena Allah” (al-Baqarah 196).
Sempurnakan ibadah haji kita, kata Hamka di Tafsir Al-Azhar. Sempurnakanlah dengan jalan membersihkan niat ketika mengerjakannya yaitu hanya semata-mata untuk beribadah kepada Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Bersihkan haji kita, lanjut Hamka, dari unsur-unsur pemujaan kepada berhala dan “berhala”. Sempurnakan manasik hajinya, sebagaimana yang telah diteladankan oleh Nabi Muhammad Saw. Sempurnakanlah, jangan sampai ada yang ketinggalan.
Untuk menegaskan bahwa niat berhaji harus semata-mata karena Allah, Hamka lalu mengajak kita untuk merenungi nasihat Sufyan Ats-Tsauri berikut ini. Bahwa, kata Sufyan Ats-Tsauri, menyempurnakan haji (dan umrah) adalah dengan menyempurnakan tujuan ke sana. Hendaknya, jangan dicampur dengan tujuan yang lain (1986: 461-452).
Refleksi di Padang
Islam sempurna dan indah, termasuk dalam hal adanya kaitan haji dengan usaha memupuk rasa persatuan. Sebelumnya, Allah mendidik persatuan umat Islam lewat suruhan agar ketika shalat wajib lima waktu tiap hari sunah berjamaah di masjid (terutama bagi laki-laki). Di titik ini, skalanya terbatas seperti–misalnya-di tingkat sebuah perumahan atau perkantoran. Kemudian, di tiap pekan umat Islam menegakkan shalat Jum’at. Di ketika ini, skala yang hadir lebih luas.
Lalu, di tiap tahun umat Islam menunaikan shalat Id (Fitri dan Adha) yang skala kehadiran umat Islam kian meluas. Kemudian, inilah puncaknya, umat Islam sedunia berhimpun secara bersamaan tiap tahun untuk berhaji. Di saat itulah, skalanya bersifat internasional. Berkumpul semua “utusan” dari berbagai belahan dunia.
Di ritual haji ada tahapan yang, sangat boleh jadi, paling menggetarkan yaitu ketika semua jamaah haji wukuf di Padang Arafah. Di ketika itu, jutaan umat Muhammad Saw berkumpul bersama dengan baju tak berjahit. Dalam pertemuan yang besar itu, mereka berkenalan satu sama lain dan bertambah teguhlah rasa persatuan. Ke semua itu, bermuara kepada keadaan supaya bisa mempersaksikan berbagai manfaat bagi mereka, baik dalam hal urusan dunia maupun akhirat.
Mari, resapilah lagi ayat ini: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (Ali ‘Imran 97). Ayat ini adalah salah satu dasar perintah berhaji. Diwajibkan haji atas orang yang mampu, satu kali dalam seumur hidupnya.
Menuju Allah
Siapapun ingin ibadahnya diterima Allah, yang dalam hal haji disebut mabrur. Jika mabrur, kepada mereka diampuni segala dosanya dan Surga siap menanti kedatangannya. Perhatikan hadits ini: “Barang siapa mengerjakan ibadah haji tanpa mengeluarkan ucapan-ucapan kotor dan tidak berbuat kejahatan, maka dia akan kembali kepada (kesucian asli) laksana mula-mula lahir dari perut ibunya”(HR Bukhari dan Muslim).
Tentu saja, siapapun yang berhaji, ingin berpredikat mabrur. Untuk itu, ada baiknya merenungkan secara sungguh-sungguh berbagai hikmah yang bisa diambil dalam berbagai rangkaian ritual haji. Misal, saat ber-ihram, raih pelajaran dan lalu mantapkan tekad bahwa kita akan istikamah bersikap selalu mengharamkan semua yang diharamkan Allah. Kita akan konsisten untuk hanya selalu berjalan menuju Allah. Lalu, ketika mengerjakan sai, dapatkan inspirasi hebat ini: Bahwa, kapan pun kita harus selalu merasa sedang berlari menuju Allah di antara cemas dan harap. Kemudian, ketika melempar jumrah, ambillah semangat bahwa untuk seterusnya kita akan senantiasa memerangi setan.
Sungguh, berusahalah wahai Jamaah Haji, agar mabrur. Larilah menuju Allah dengan penuh rasa cinta dan sukarela. Berbuat baiklah kepada sesama manusia. Labbaika Allahumma labbaik. (*)