Untuk Apa Gelar Sarjana? Yang Penting Skill? Oleh Prima Mari Kristanto
PWMU.CO – Skill Rizky Ridho dan Marcelino Ferdinan dalam sepakbola tidak diragukan. Keberhasilan dua arek Suroboyo ini menjadi kekuatan inti tim nasional sepakbola U23 dan senior sebagai bukti skill keduanya bukan kaleng-kaleng.
Jika tidak ada aral melintang atau kejadian luar biasa, karier keduanya yang berbasis skill kinestetik insyaallah cerah hingga satu dekade ke depan. Di tengah kesibukan berlatih dan bermain sepakbola, Rizky Ridho dan Marcelino masih berusaha memiliki bekal akademik.
Universitas Muhammadiyah Surabaya menjadi pilihan Rizky Ridho, sedangkan Marcelino memilih Universitas Negeri Surabaya. Berkaca dari dua bintang tim nasional sepakbola tersebut, antara gelar dan skill tidak perlu dipertentangkan. Gelar akademik dan skill kinestetik bidang olahraga, keterampilan kerja dan sebagainya akan saling melengkapi.
Pendidikan tinggi terutama yang berstatus negeri semakin diminati masyarakat karena dianggap lebih terjangkau biayanya karena mendapat subsidi negara. Tetapi memasuki tahun ajaran baru 2024/2025 beberapa perguruan tinggi negeri dilanda “gonjang-ganjing” kenaikan uang kuliah tunggal (UKT).
Banyak mahasiswa yang mengeluhkan kenaikan UKT karena dianggap sangat tinggi. Kondisi demikian dikhawatirkan menurunkan minat masyarakat menempuh pendidikan tinggi, bahkan yang sudah masuk bisa terancam drop out karena kesulitan biaya.
Sungguh ironi di tengah kekhawatiran penurunan minat menempuh pendidikan tinggi muncul pernyataan jika pendidikan tinggi tidak wajib, setara kebutuhan tersier. Pernyataan itu muncul dari Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek, Tjitjik Tjahjandarie.
Beberapa waktu yang lalu di tengah isu dugaan ijazah palsu, muncul pernyataan serupa bahwa ijazah tidak penting karena yang dibutuhkan dalam bekerja adalah skill atau keterampilan.
Dalam beberapa kasus gelar akademik memang benar tidak diperlukan dalam bekerja atau wirausaha. Tetapi pekerjaan-pekerjaan yang berorientasi kualitas mewajibkan gelar akademik tertentu. Profesi dokter wajib berpendidikan minimal S1 pendidikan dokter ditambah pendidikan profesi. Pengacara wajib berpendidikan sarjana hukum sebelum mengikuti pendidikan pengacara. Akuntan publik wajib berijazah S1 akuntansi sebagai syarat menempuh ujian sertifikasi dan pendalaman skill keterampilan pemeriksa laporan keuangan.
Target mewujudkan Visi Indonesia Emas mustahil tercapai tanpa akses pendidikan tinggi yang dipermudah dan diperluas. Pendidikan tinggi sebagai sarana akselerasi meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Kebangkitan Nasional 1908 hingga Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dirancang para sarjana, dokter, insinyur, doktorandus dan sebagainya.
Target Indonesia Emas 2045 bisa berat bahkan meleset jika tidak didukung kemudahan akses pendidikan tinggi minimal level S1 atau sarjana mulai tahun akademik 2024/2025.
Pendidikan tinggi dan gelar sarjana tidak selalu berorientasi lapangan kerja tertentu, bekal pendidikan tinggi lebih utama diharapkan memperbaiki pola pikir, nalar dan etika dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. ASN, guru, dosen, profesional, anggota dewan, pejabat bergelar sarjana sudah biasa. Pemain sepakbola sarjana, ibu rumah tangga sarjana, tukang meubel sarjana, penjual martabak dan lain-lain sarjana salahnya di mana? Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni