Berbeda Pandangan Fikih Jangan Pakai Prinsip WTS; Oleh Dr Aji Damanuri MEI, dosen FEBI IAIN Ponorogo, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Tulungagung.
PWMU.CO – Perbedaan pandangan keagamaan atau yang lebih dikenal dengan ikhtilaf fikih adalah hal biasa dalam khazanah pemikiran Islam. Munculnya imam-imam mazhab menunjukkan perbedaan penafsiran agama adalah hal yang wajar. Sayangnya banyak para pemula dalam agama yang menggunakan prinsip WTS dalam berikhtilaf.
WTS ini bukan Wanita tuna susial, tetapi kredo Jawa yaitu waton suloyo atau biasa disebut WTS.
Sebuah sikap, ‘yang penting berbeda dengan lawan bicara’. Biasanya ketika berbeda dan diterangkan atau diberi penjelasan maka orang semacam ini akan mencari alasan lain untuk menyerang, menelikung, dan mencari titik lemah yang bisa diserang, yang penting beda.
Ketika hal tersebut diterangkan maka dia akan mencari lagi titik bedanya. Begitulah seterusnya. Karena itulah disebut WTS, waton suloyo. Berdebat dengan orang yang berprinsip WTS ini tidak ada gunanya karena yang dicari bukan penyelesaian masalah dan kesepahaman namun asal beda.
Cara beragama yang demikian amatlah parah. Seenaknya sendiri. Hanya mau mendengarkaan ustadz sendiri dan tidak mau mendengar ustadz lainnya. Hanya menganggap manhaj-nya yang benar sementara manhaj lain salah. Hanya meyakini kelompoknya yang sesuai sunah sahihah sementara yang lain sesat, bid’ah, bahkan kafir. Hanya meyakini kebenaran diri dan meyakini yang lain salah adalah bentuk kesombongan yang menggelincirkan sebagaimana tergelincirnya iblis dari surga.
Muhammadiyah dan NU dalam beberapa hal fikih juga berbeda pendapat, namun tidak pernah kelompok ini menyebut saudaranya sesame pendakwah, sesama ustadz dengan sebutan ustadz syubhat atau ustadz bid’ah. Bisa jadi ada satu keputusan bid’ah, tetapi itu melekat pada perilaku dan hukum yang sebenarnya karena interpretasi, namun tidak dilekatkan pada seseorang sesama pendakwah. Definisi bid’ah sendiri juga terjadi ikhtilaf, bagaimana sesuatu yang masih diperdebatkan menjadi alat justifikasi untuk menghukumi yang lain.
Terjadinya Ikhtilaf
Lalu, kenapa terjadi ikhtilaf dalam memahami agama? Apakah karena tidak merujuk langsung pada al-Qur’an dan as-Sunnah? Betulkah para salafus shalih tidak berbeda pendapat? Jika kita memahami bahwa persatuan harus berkumpul semua dalam satu firqah maka itu menyelisihi salafus shalih.
Rasulullah tidak pernah meleburkan suku Aus dan Khazraj. Tidak menghilangkan identitas muhajirin dan anshar, mereka tetap pada kesukuannya namun diikat dengan iman yang sama, ukhuwah Islamiah. Hal ini juga tampak ketika Rasulullah wafat, para sahabat salafus shalihmengumpulkan para ketua firqah untuk memilih pemimpin yang akan menggantikan kepemimpinan politik Rasulullah.
Kita juga akan kecewa ketika menganggap bahwa merujuk langsung pada al-Qur’an dan al-Hadits maka tidak akan ada perbedaan pendapat. Khalifah Umar bin Khattab adalah contoh nyata bahwa salafus shalih pada kalangan sahabat juga ber-ikhtilaf. Meskiun al-Qur’an secara jelas menyuruh memotong tangan kepada pencuri namun Umar mengampuni sahabat miskin yang terpaksa mencuri, kemudian ulama mazhab ber-ikhtilaf berapa besaran dinar dirham yang dicuri sehingga layak untuk dipotong tangannya.
Umar membuat terobosan luar biasa terhadap pembagian ghanimah (harta rampasan perang) yang juga menimbulkan ikhtilaf. Harta rampasan perang yang bergerak dibagi kepada para pejuang, sementara harta tidak bergerak (tanah) tidak dibagi, tetapi dikuasai oleh negara. Artinya, kebohongan besar jika mengatakan bahwa dengan kembali pada salafus shalih tidak akan ada perbedaan pendapat.
Para ulama berbeda pendapat tentang kata tsalasata quru apakah tiga kali suci atau tiga kali haid. Bahkan memahami muhkam dan mutasyabih, qat’I, dan dzanni, tafsir dan ta’wil, dan dalam al-Qur’an juga banyak yang berbeda pendapat. Ikhtilaf itulah yang melahirkan ribuan kitab tafsir, fikih dan khazanah keilmuan lainnya.
Perbedaan pendapat dengan perinsip WTS tidak ada sandaran ilmiahnya, karena dibangun diatas debat kusir. Ihktilaf muncul berdasar ilmu, sementara perpecahan dan percekcokan lahir dari kesombongan akibat minimnya ilmu. Sementara perbedaan pendapat para ulama selalu seputar keilmuan. Ikhtilaf para ulama biasanya disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya:
Pertama: perbedaan dalam metode istinbat hukum. Sama-sama bersumber pada dalil al-Qur’an dan al-Hadits, namun cara ber-istidlal-nya berbeda. Ada yang menerima istihsan dan ada juga yang tidak mau memakainya. Dan masih banyak lagi metode lainnya seperti saddan lidzdzri’ah, qaulu shahabi, istishab, dan qiyas. Perbedaan metode istinbat ini menimbulkan interprerasi yang berbeda meskipun sumber dalil yang digunakan sama.
Kelompok salafi tidak mengakui manhaj lain selain manhaj salaf, padahal salafu shalihbukanlah manhaj tetapi sebutan bagi sebuah masa di mana Islam dilaksanakan dengan baik. Mereka beranggapan Islam telah sempurna dan tidak perlu manhaj lain.
Mereka lupa bahwa semua umat Islam sepakat bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Namun pemahaman dan pengamalan kita terhadap agama tidak mungkin sempurna. Karenanya para ulama ushul fikih merumuskan kerangka berpikir untuk merumuskan hukum dan menjawab problematika umat sesuai dengan zamannya. Metode inilah yang disebut manhaj yang juga terus berkembang.
Kedua, pemahaman bahasa. Misalnya lafadz al quru’ sebagaimana disinggung di atas, yang bisa memiliki arti haid dan suci (al-Baqarah 228). Atau lafal perintah (al-amr) yang bisa bermakna wajib atau anjuran. Serta lafal larangan (an-nahyu) yang bisa memiliki makna larangan yang haram atau makruh.
Atau lafal au lamastumu nisa, yang satu mengartikan menyentuh yang lain berjimak. Belum lagi pemaknaan dhahir, majaz (kiasan), musytaraq (memiliki lebih dari satu makna), mutasyabih (meragukan) meragukan antara ithlaq dan taqyid, mujmal (umum), dan khusus (’am wal khas), atau yang memiliki makna hakiki atau makna menurut adat kebiasaan (’urf), dan lain-lain.
Perbedaan pendapat dalam meletakkan tangan setelah iktidal misalnya, dikarenakan pemahaman kalimat ”kembali ke asal”, ada yang kembali sedekap, ada yang kembali lurus mengingat konteks hadisnya menerangkan lurusnya ruas-ruas tulang. Konsep-konsep yang muncul ini juga bersumber dari al-Qur’an dan menjadi ikhtilaf di kalangan para ulama. Mungkin Allah menginginkan agar hambanya terus dan selalu berpikir, bukan agar berpecah belah.
Ketiga, kriteria hadis. Sejak awal penulisannya memang sudah ada perbedaan tentang kriteria hadis, baik periwayatan, perawi, matan, maupun hal lainnya. Para ahli hadits menganggap salah satu perawi bagus sedang yang lain mencelanya. Dalam pengambilan hadits sebagai dasar hukum para ulama juga berbeda, ada yang hanya mengambil hadis mutawatir untuk masalah akidah, mengambil hadis masyhur, azis, ahad untuk ibadah, dan ada yang menggunakan hadis dhaif jika periwayatannya banyak dan daifnya tidak terkait perawinya. Perbedaan dalam hadits dimulai dari penetapan kriteria sahih, pengambilan dalil, juga pemahaman matannya.
Hadits dibukukan oleh para perawi yang masih memiliki akses terhadap sumber. Para muhadits menelusuri setiap informasi secara detail dan mendalam. Imam Bukhari yang tinggal di Kazakztan dekat Rusia rela menelusuri sebuah informasi sampai ke Kufah, Makkah, Madinah dan tempat lainnya. Meski begitu tetap saja ada yang menshahihkan dan mendhaifkan dalam prosesnya. Maka tidak heran ketika membaca hadits di akhir kalimat kita temukan kata wa sahahahu at-Tirmidzi, wa sahahahu Ibnu Hibban, wa dha’afahu Tabrani, karena mereka adalah perawi hadits.
Namun yang mengherankan ketika generasi sekarang menyandarkan shahih dan tidaknya hadits pada Syaikh Albani dengan kalimat wa sahahahu Albani. Padahal tidak menelusuri hadits sebagaimana para perawi hadits. Kita tahu derajat hadis, siapa saja perawi, bagaimana jalur periwayatan dan lain-lain melalui semua kitab yang sudah ditulis para ulama hadis. Kita hanya bisa men-takhrij, men-tarjih, dan memahami matannya.
Keempat, perkembangan zaman yang diiringi oleh perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi. Masalah-masalah yang baru yang belum ada nash-nya biasanya memunculkan ikhtilaf karena perbedaan dalam ber-istidlal. Misalnya, bunga bank apakah sama dengan riba, program keluarga berencana, transplantasi organ tubuh, ragam harta yang wajib dizakati, dan lain-lain.
Ragam Cara Beribadah
Tentu masih banyak lagi sebab-sebab ikhtilaf fikih. Namun ada beberapa perbedaan yang sebenarnya bukan ikhtilaf tapi sekadar ragam cara atau bacaan dalam beribadah karena memang diajarkan dalam dalil yang berbeda-beda. Misalnya, ragam bacaan doa dalam shalat, ragam posisi basmalah dalam al-Fatihah, ragam ketinggian tangan ketika takbir dan lain sebagainya. Yang demikian disebut sebagai at tanawu’u fil ibadah atau ragam cara beribadah.
Selama perbedaan pendapat tersebut dalam rangka pemahaman terhadap ajaran Islam yang bersumber pada al0-Qur’an dan al-Hadits sebagai bentuk ketaatan kepada Allah disebut sebagai ikhtilaf. Ikhtilaf ini wajar sebagai bentuk ijtihad berdasar manhaj yang benar, sumber yang sahih dan dilakukan oleh orang atau kelompok yang otoritatif.
Namun jika perbedaan tersebut hanya didasarkan pada prinsip WTS maka sebenarnya bukanlah ikhtilaf tetapi tafaruq (perpecahan) yang sia-sia. Lalu bagaimana supaya tidak terjebak pada tafarruq dalam ber-ikhtilaf?
Kehidupan beragama yang baik didasarkan pada ilmu bukan nafsu. Penting untuk mengikuti manhaj pertengahan dan meninggalkan sikap berlebihan dalam agama atau sikap ghuluw. Bersikap dengan tawasuth, tasamuh, dan tawadhu. Meninggalkan fanatisme terhadap Individu, mazhab, dan golongan. Memiliki komitmen yang kuat terhadap organisasi sebagai bentuk asabiah bukan fanatisme buta. Penting memahami agama dengan multidisipliner, belajar pada guru yang otoritatif apa lagi bersanad, memperluas pemahaman dengan mengkaji, mendengar pendapat lain yang berbeda.
Selain itu sebagai seorang Muslim yang memang memiliki niat menjalankan agama dengan baik, Ikhlas dan taat, selalu berprasangka baik bahwa sesama saudara muslim adalah bersaudara. Semua juga tengah berusaha membangun ketaatan kepada Allah, tidak menyakiti, mencela atau men-tahdzir sesama Muslim selama perbedaan masih dalam koridor ikhtilaf, dan yang lebih penting memahami dan bijak dalam memilih forum diskusi dan belajar ilmu yang mendalam dengan menjauhi jidal atau debat kusir.
Perspektif Tarjih
Dalam rangka menghadirkan Islam yang ramah, Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah merumuskan wawasan atau perspektif tarjih itu meliputi: 1. Wawasan paham agama, 2. Wawasan tajdid, 3. Wawasan toleransi, 4. Wawasan keterbukaan, 5. Wawasan tidak berafiliasi mazhab tertentu.
Wawasan ini harus dipegangi oleh para ulama Muhammadiyah dalam merumuskan dan mendakwahkan ajaran agama yang dipahami oleh Muhammadiyah.
Wawasan paham agama meniscayakan umat untuk memahami konsep agama dan keberagamaan secara baik. Umumnya para ulama Islam mendefinisikan agama sebagai, “Ketetapan Ilahi yang membimbing orang-orang yang berpikiran sehat ke arah kebaikan-kebaikan atas pilihan mereka sendiri baik secara batin maupun lahir”. Definisi ini melihat agama sebagai suatu kerangka atau tatanan normatif yang memberikan bimbingan dan pengarahan kepada manusia untuk mencapai kebajikan hidup.
Sementara itu wawasan tajdid memuat pemurnian dan dinamisasi. Dalam bidang akidah dan ibadah, tajdid bermakna pemurnian dalam arti mengembalikan akidah dan ibadah kepada kemurniannya sesuai dengan sunah Nabi SAW. Sedangkan dalam bidang muamalat duniawiah, tajdid berarti mendinamisasikan kehidupan masyarakat dengan semangat kreatif dan inovatif sesuai tuntutan zaman. Dimanisasi ini tetap bersumber pada nas dengan pendekatan manhaj yang sahih pula. Penerimaan Muhammadiyah terhadap qiyas juga menjadi sumber ikhtilaf dengan firqoh lain.
Berikhtilaf dalam paham agama merupakan wujud toleransi. Toleransi artinya bahwa putusan Tarjih tidak menganggap dirinya saja yang benar, sementara yang lain tidak benar. Dalam “Penerangan tentang Hal Tardjih” yang dikeluarkan tahun 1936, dinyatakan, “Kepoetoesan tardjih moelai dari meroendingkan sampai kepada menetapkan tidak ada sifat perlawanan, jakni menentang ataoe menjatoehkan segala jang tidak dipilih oleh Tardjih itoe.”
Pernyataan ini menggambarkan bahwa Tarjih Muhammadiyah tidak menegasikan pendapat lain apalagi menyatakannya tidak benar. Tarjih Muhammadiyah memandang keputusan-keputusan yang diambilnya adalah suatu capaian maksimal yang mampu diraih saat mengambil keputusan itu. Produk ijtihad tetaplah hasil pikiran manusia yang selalu berpotensi salah.
Oleh karena itu Tarjih Muhammadiyah terbuka terhadap masukan baru dengan argumen yang lebih kuat. Keterbukaan terhadap penemuan baru adalah prinsip berikutnya dalam wawasan ketarjihan Muhammadiyah. Keterbukaan Keterbukaan artinya bahwa segala yang diputuskan oleh Tarjih dapat dikritik dalam rangka melakukan perbaikan, di mana apabila ditemukan dalil dan argumen lebih kuat, maka Majelis Tarjih akan membahasnya dan mengoreksi dalil dan argumen yang dinilai kurang kuat.
Lebih tegas lagi dalam “Penerangan tentang Hal Tardjih” disebutkan, “Malah kami berseroe kepada sekalian oelama soepaya soeka membahas poela akan kebenaran poetoesan Madjelis Tardjih itoe di mana kalaoe terdapat kesalahan ataoe koerang tepat dalilnja diharap soepaya diajoekan, sjoekoer kalaoe dapat memberikan dalil jang lebih tepat (Boeah Congres, Jogjakarta: Hoefdcomite Congres Moehammadijah, t.t.), h 32. ini adalah komitmen ikhtilaf yang penting, bahwa sumber kebenaran itu bisa dari kelompok manapun selama memberikan dasar yang lebih kuat maka bisa diterima.
Karena itulah Muhammadiyah tidak berafiliasi mazhab tertentu, namun ini tidak berarti menafikan berbagai pendapat fukaha yang ada. Pendapat-pendapat mereka itu sangat penting dan dijadikan bahan pertimbangan untuk menentukan diktum norma atau ajaran yang lebih sesuai dengan semangat di mana kita hidup.
Jika ikhtilaf didasari oleh ilmu semestinya tidak menjadi perpecahan yang justru merugikan umat. Para ulama menyatakan barang siapa belum merasakan manisnya ikhtilaf berarti belum mengenyam fikih secara mendalam. Kasus Ustadz Adi Hidayat di media sosial lebih dikarenakan tidak mengonter sebuah paparan ilmiah dengan penjelasan ilmiah pula, namun discounter dengan tahdzir yang serampangan.
Setelah kita perhatikan dengan seksama polemik tersebut sebenarnya bukan hal yang sangat luar biasa. Ikhtilaf ulama tentang musik juga sudah terjadi sejak lama. Fatwa tarjih tentang music juga sudah lama di-tanfidz-kan dan tidak menimbulkan polemic. Ustadz Adi Hidayat tidak mengganti nama surat, hanya memberi makna sesuai kapasitas keilmuannya.
Teman saya, Ustadz Saifuddin salah satu anggota PDM Tulungagung biasa saja dalam ceramahnya memaknai surat al Maidah dengan ayat tumpeng, karena untuk memahamkan jamaahnya, karena mereka lebih mudah memahami dibanding denga konsep hidangan. Mungkin ada juga menyebut surat al-Maun dengan surat pendusta agama. Mengubah nama surat dan memaknai tentu sesuatu yang berbeda. Yang tidak kalah pentingnya supaya ikhtilaf tidak menjadi iftiraq adalah menyanggahnya dengan ilmu jika tidak bersepakat.
Para ulama madhab dengan keluasan ilmunya juga berikhtilaf namun karena berdasar ilmu maka saling menghormati. Semua berijtihad memahami agama dengan benar agar bisa menjadi pegangan umat, lalu kenapa harus membangun front permusuhan. Maka berikhtilaflah dengan ilmu supaya bijak, jangan dengan TWS apa lagi bonek. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni