Kekuasaan Itu Mulia jika Amanat Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Menulislah, Engkau Akan Dikenang (terbit 2024) dan sebelas judul lainnya.
PWMU.CO – Banyak orang berlomba-lomba meraih kekuasaan. Mereka yang memperebutkan itu seperti tak peduli bahwa ada tanggung-jawab sangat besar di balik kekuasaan. Mereka tampak tak paham dengan apa yang disebut amanat. Tak paham amanat, misalnya, dengan menghalalkan segala cara dalam proses menuju kekuasaan.
Boleh jadi, karena dilatarbelakangi gambaran seperti di atas itulah, seorang kiai yang suka menulis membuat artikel-opini. Judulnya, “Kekuasaan Itu Ular Berbisa”. Artikel itu dimuat sebuah harian terkemuka terbitan Surabaya pada edisi 3 Agustus 2001.
Tulisan itu memang sudah sangat lama, tapi isinya tak mudah saya (atau kita) lupakan. Di artikel-opini tersebut ditulis bahwa kekuasaan itu seperti ular berbisa, sehingga “Orang yang berakal sehat dan memandang akhirat akan menghindarinya”.
Tentu hak penulis, yang seorang kiai itu, menulis opini seperti di atas. Sangat mungkin dia berpendapat demikian karena melihat banyak praktik perebutan kekuasaan di sekitarnya yang tak elok. Adapun yang dimaksud sekitar, bisa dekat atau jauh. Dekat itu lokal, jauh itu nasional.
Berat, Berat
Perhatikan ayat ini: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (An-Nisaa’ 58).
Mari buka Tafsir Al-Azhar. Ayat ini, kata Hamka, ajaran Islam yang wajib ditunaikan oleh penguasa-penguasa. Mereka, dalam memberikan amanat, hendaklah kepada ahlinya. Orang yang akan diberi tanggung-jawab dalam suatu tugas, harus yang sanggup dan bisa dipercaya memegang tugas itu (2003: 1269).
Hamka lalu ingat Ibnu Taimiyah, yang berkata di dalam kitabnya yaitu As-Siasatusy Sya’iyah. Bahwa, wajib atas penguasa menyerahkan suatu tugas dari tugas-tugas kaum Muslimin kepada orang yang cakap untuk melaksanakan pekerjaan itu. Hal ini karena Nabi Muhammad Saw telah bersabda, “Barangsiapa memegang kuasa dari suatu urusan kaum Muslimin, lalu dia berikan suatu jabatan kepada seorang, padahal dia tahu ada lagi orang yang lebih cakap untuk kaum Muslimin jika dibandingkan orang yang diangkatnya itu, maka berkhianatlah dia kepada Allah dan Rasul-Nya serta kaum Muslimin” (HR Al-Hakim).
Terkait, Hamka juga ingat bahwa Umar bin Khtaththab Ra, berkata: “Barangsiapa yang memegang kuasa kaum Muslimin, lalu diangkatnya orang karena pilih-kasih atau karena hubungan keluarga, khianatlah dia kepada Allah dan Rasul serta kaum Muslimin.
Semua penerima amanat, kata Hamka. hendaklah diangkat menurut kecakapan dan kejujuran. Ini, karena adanya kewajiban menjaga amanat. Selanjutnya, tiap-tiap orang yang telah diangkat itu, jika mengangkat bawahannya hendaklah memilih mana yang lebih cakap dan jujur. Itu berlaku untuk jabatan apa saja dan di level mana saja: Semua, hendaklah diangkat yang cakap (Hamka, 2003: 1270).
Susu Itu
Terkait amanat, ada kisah indah, di Madinah. Umar bin Khaththab Ra kala itu sedang memegang amanat sebagai khalifah. Sebagai salah satu wujud tanggung-jawab seorang Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab Ra memiliki sebuah kebiasaan yang tak semua pemimpin mau melakukannya.
Umar bin Khaththab Ra suka berkeliling-pagi, siang, atau malam-untuk memantau keadaan dari masyarakat yang dipimpinnya. Saat memantau, dia lebih sering menyamar sehingga masyarakat yang ditemuinya tak tahu bahwa yang sedang bersama atau kadang berbincang-bincang dengan mereka itu adalah seorang khalifah bernama Umar bin Khaththab Ra.
Di sebuah malam yang dingin, ketika rata-rata warga Madinah sudah terlelap tidur, Umar bin Khaththab RA justru sigap berkeliling kota, sendirian. Umar bin Khaththab Ra adalah pemimpin atau pejabat yang sangat sadar bahwa kelak amanat itu harus dipertanggungjawabkan di Hari Akhir.
Umar bin Khaththab Ra berkeliling, ingin mengetahui barangkali ada warga yang lapar, sakit, atau dizalimi pihak lain. Dia khawatir, barangkali ada urusan orang yang luput dari perhatiannya, sedangkan kelak Allah akan menanyai hal itu.
Malam itu, dia berkeliling dalam waktu yang lama, sampai dia kelelahan dan kedinginan. Refleks Umar bin Khaththab Ra berlindung di dekat sebuah rumah, yang jika melihat ukurannya yang kecil dan tampak sangat sederhana, milik sebuah keluarga yang tergolong miskin. Umar bin Khaththab Ra berniat menumpang berteduh sebentar sebelum melanjutkan perjalanan menuju masjid karena fajar hampir tiba.
Sejurus kemudian, tak sengaja Umar bin Khaththab Ra mendengar dialog dari dalam rumah, sebuah percakapan antara seorang ibu yang berprofesi sebagai penjual susu dengan anak gadisnya. Hari itu rupanya susu hasil perahan kambing mereka tak banyak, sehingga jika dijual tak cukup untuk membeli berbagai keperluan esok harinya.
“Anakku, campurlah susu itu dengan air,” pinta si ibu. Tentu saja hal itu dimaksudkan agar susu terlihat lebih banyak sehingga bisa mendapat lebih banyak uang.
“Bagaimana aku bisa melakukannya, sebab bukankah Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Ra telah melarang hal yang demikian ini,” tolak sang anak gadis.
“Orang-orang lain juga mencampurnya. Ayo, campurlah, karena siapa yang akan memberi tahu Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Ra tentang hal ini? Bukankah dia tak melihat kita,” desak si ibu.
“Wahai Ibu,jika Amirul Mukminin Umar bin Khaththab Ra tak melihat, namun-ketahuilah-Tuhan yang memiliki Amirul Mukminin pasti melihat kita,” terang sang anak gadis dengan nada yang lembut namun tegas.
Masya Allah! Tak kuasa Umar bin Khaththab Ra menahan haru atas performa putri si penjual susu yang kemuliaan akhlaknya terbangun di atas fondasi akidah yang kukuh. Keluar air mata haru Umar bin Khaththab Ra. Allahu Akbar!
Lalu, bergegas Umar bin Khaththab Ra ke Masjid, karena Subuh sudah masuk. Usai mengimami shalat berjamaah, Umar bin Khaththab Ra pulang ke rumah.
Tak menunda waktu, dia lalu memangil Ashim, putranya. Umar bin Khaththab Ra meminta Ashim menyelidiki keadaan penghuni rumah yang semalam sempat “disinggahi”-nya.
Singkat cerita, setelah melaksanakan amanat dari sang ayah, Ashim kembali ke rumah dengan membawa informasi yang cukup lengkap tentang ibu si penjual susu dan anak gadisnya. Sebaliknya, Umar bin Khaththab Ra menceritakan apa yang didapatnya semalam secara tak sengaja itu.
“Pergilah Anakku, nikahilah anak gadis itu karena saya lihat dia seorang yang baik dan–semoga-dia akan melahirkan seorang laki-laki yang menjadi pemimpin Arab,” pinta Umar bin Khaththab Ra kepada putranya yang ketika itu memang sedang berniat untuk menikah.
Ashim-pun menikahi gadis miskin namun mulia itu. Dari rahimnya lalu lahir anak perempuan yang lalu mereka beri nama Laila dan dijuluki Ummi Ashim.
Sebagaimana ibunya, Ummi Ashim tumbuh-kembang menjadi wanita shalihah, wanita bertakwa. Lalu, di kemudian hari Ummi Ashim dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Dari pasangan inilah, lahir Umar bin Abdul Aziz, yang di kemudian hari–saat dia menjadi khalifah-disebut-sebut sebagai Khulafaur-Rasyidin yang kelima setelah Abu Bakar Ra, Umar bin Khaththab Ra, Usman bin Affan Ra, dan Ali bin Abi Thalib Ra.
Amanat, Selalu!
Demikianlah, sebelumnya Umar bin Khththab Ra dipilih sebagai khalifah karena dipandang dapat menjaga amanat. Selanjutnya, terbukti, di masa kepemimpinannya dia dinilai sukses.
Terakhir, kembali kita ulang nasihat Hamka: Bahwa, semua penerima amanat hendaklah diangkat menurut kecakapan dan kejujuran. Ini, mengingat adanya kewajiban menjaga amanat. Selanjutnya, tiap-tiap orang yang telah diangkat, jika mengangkat bawahan hendaklah memilih mana yang lebih cakap dan jujur. Itu berlaku untuk jabatan apa saja dan di level mana saja: Semua, hendaklah diangkat yang cakap. Dengan itu, mulia semuanya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni