PWMU.CO – Konsesi tambang untuk Ormas sudah mulai direalisasi lewat Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. Menurut Din Syamsuddin bakal memunculkan banyak masalah.
Din Syamsuddin menyampaikan, dengan husnuzon pemberian konsesi tambang untuk Ormas Keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah dapat dinilai positif sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada mereka.
”Namun hal demikian sangat terlambat, dan motifnya terkesan untuk mengambil hati. Maka, suuzon tak terhindarkan,” kata Din Syamsuddin, Selasa (4/6/2024).
Dia bercerita, sewaktu dia diminta menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja sama Antar Agama dan Peradaban, dia mempersyaratkan agar Presiden Joko Widodo menanggulangi ketakadilan ekonomi antara kelompok segelintiran yang menguasai aset nasional di atas 60 persen dan umat Islam yang terpuruk dalam bidang ekonomi.
”Presiden menjawab bahwa hal itu tidak mudah. Saya katakan mudah seandainya ada kehendak politik (political will). Yang saya mintakan hanya pemerintah melakukan aksi keberpihakan dengan menciptakan keadilan ekonomi dan tidak hanya memberi konsesi kepada pihak tertentu,” tuturnya.
Juga dia minta agar mau menaikkan derajat satu-dua pengusaha muslim menjadi setara dengan taipan. Menurutnya, itu perlu agar kesenjangan ekonomi yang berhimpit dengan agama dan etnik tidak menimbulkan bom waktu bagi Indonesia.
”Kini tiba-tiba kehendak politik itu ada lewat Menteri Bahlil. Walau tidak ada kata terlambat, namun pemberian konsesi tambang itu tidak dapat tidak mengandung masalah,” ucap Ketua Umum PP Muhammadiyah 2005-2015 itu.
Menurut dia, pemberian konsesi tambang kepada NU dan Muhammadiyah tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua Ormas Islam itu. Tetap tidak seimbang dengan pemberian konsesi kepada perusahan-perusahaan yang dimiliki oleh kelompok segelintiran tadi.
Satu perusahaan, seperti Sinarmas menguasai lahan walau bukan semuanya batubara seluas sekitar 5 juta hektare. Bahkan dunia Minerba Indonesia dikuasai oleh beberapa perusahaan saja. Sumber daya alam Indonesia sungguh dijarah secara serakah oleh segelintir orang yang patut diduga berkolusi dengan pejabat.
”Pemberian tambang batubara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai salah penyebab perubahan iklim dan pemanasan global, maka besar kemungkinan yang akan diberikan kepada NU dan Muhammadiyah adalah sisa-sisa dari kekayaan negara,” tandasnya.
Pemberian tambang “secara cuma-cuma” kepada NU dan Muhammadiyah, sambung dia, potensial membawa jebakan.
Dia menyebut, menurut pakar, Sistem Tata Kelola Tambang dengan menggunakan sistem Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Kontrak Karya adalah Sistem Zaman Kolonial berdasarkan UU Pertambangan Zaman Belanda (Indische Mijnwet) yang dilanggengkan dengan UU Minerba No.4/2009 dan UU Minerba No.3/2020.
Sistem IUP ini tidak sesuai konstitusi tidak menjamin bahwa perolehan negara harus lebih besar dari keuntungan bersih penambang.
Selain sistem IUP ini selama bertahun-tahun terbukti disalahgunakan oleh oknum pejabat negara yang diberi wewenang mulai dari bupati, gubernur, hingga Dirjen dalam mengeluarkan IUP.
”Wewenang pemberian IUP sebagai sumber korupsi,” kata Din yang Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu Jakarta.
Dijelaskan, jika Ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi.
”Pemberian konsesi tambang batubara kepada organisasi masyarakat dalam keadaan politik nasional yang kontroversial akibat Pemilu/Pilpres akan mudah dipahami sebagai upaya kooptasi, peredaman tuduhan ketakadilan, dan di baliknya akan memuluskan jalan penguasaan ekonomi oleh pihak tertentu dan kaum kleptokrat di pemerintahan,” tuturnya.
Harapannya, kata dia, NU dan Muhammadiyah bungkam terhadap kemungkaran di depan mata.
”Yang perlu dilakukan pemerintah adalah aksi afirmatif, yakni dengan menyilakan penguasaha besar maju, tapi rakyat kebanyakan diberdayakan, bukan diperdayakan,” tandasnya.
”Sebagai warga Muhammadiyah saya mengusulkan kepada PP Muhammadiyah untuk menolak tawaran Menteri Bahlil dan Presiden Joko Widodo itu. Pemberian itu lebih banyak mudharat dari pada maslahatnya. Muhammadiyah harus menjadi penyelesai masalah bangsa, bukan bagian dari masalah,” tegasnya.
Editor Sugeng Purwanto