PWMU.CO – Muzdzlifah bisa disebut sebagai kota semalam. Sebab, hanya malam itu ada aktivitas kehidupan manusia: singgahnya jamaah haji usai melakukan wukuf di Arafah, tanggal 9 Dzulhijjah.
Banyak yang hanya singgah hingga lewat tengah malam—lebih dari jam 24.00—tapi sebagian lain bermalam hingga fajar tanggal 10 Dzulhijjah untuk bisa menunaikan subuh di sana, seperti yang dilakukan Rasulullah saw.
Di sini, seperti dicontohkan Nabi saw, kami pun melakukan shalat jamak qashar Maghrib-Isyak yang diakhirkan.
(Baca: Ingin Jadi Jamaah Gundul yang Rahmatan lil Alamin dan Kenapa Ustadz Ini Berpesan agar Jamaah Haji Membawa “Ihram”-nya ke Tanah Air)
Di Muzdalifah tak ada tenda. Hanya ada alas karpet di beberapa tempat. Jelas jauh tak mencukupi untuk jamaah yang bermalam di sana. Tapi jamaah haji sudah membekali diri dengan tikar seadanya.
Malam itu, Muzdalifah, terlihat seperti bumi berkarpet putih oleh jutaan manusia yang berkain ihram. Sepanjang mata memandang, yang nampak adalah putih, putih, dan putih. Hamparan putih yang hanya beratapkan langit dalam balutan angin yang menghembus.
Begitu turun dari bus yang mengantarkannya dari Arafah, jamaah haji sudah disambut petugas dengan kantong kecil berisi batu kerikil. Rupanya, Kerajaan Arab Saudi tak ingin jamaah haji repot-repot mencari sendiri. Tapi, batu kerikil yang disediakan itu dianggap terlalu lembut. Maka, jamaah pun tetap mencari kerikil di sekitar tikar dihamparkan, yang di situ batu kerikilnya juga sudah disiapkan oleh panitia haji.
“Kalau terlalu kecil kerikilnya, takutnya jika dilempar tidak akan sampai tembok jamarat,” kata Agus Wahyudi, seorang jamaah haji asal KBIH Baitul Atiq Gresik Indonesia.
Batu-batu kerikil itu adalah amunisi untuk persiapan “perang” melawan setan yang bercokol di Jamarat.
Karena mengikuti Nafar Tsani, jamaah haji Baitul Atiq mencari batu kerikil, minimal 70 buah. Mereka melebihkan dari jumlah itu untuk cadangan jika ada lemparan yang tak kena sasaran.
Jumlah 70 itu rinciannya adalah, 7 batu untuk lemparan Jumrah Aqabah tanggal 10 Dzulhijjah. Sementara pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah, masing-masing membutuhkan 21 batu: 7 untuk Jumarh Ula, 7 untuk Jumrah Wutsha, dan 7 untuk Jumrah Aqabah.
Selain Nafar Tsani, banyak jamaah Indonesia yang mengambil Nafar Awal, dengan tidak melakukan lemparan pada tanggal 13 Dzulhijjah. Karena itu cukup mengumpulkan 49 batu kerikil.
Tidak ada rangsum makanan di Muzdalifah. Tetapi jamaah haji Indonesia dibekali satu tas saat meninggalkan Arafah. Isinya gelas, teh celup, gula, pop mie, saos, dan sambal.
Sepertinya bekal itu sengaja dipersiapkan untuk di Muzdalifah. Sebelumnya di KBIH jamaah sudah diwanti-wanti untuk membawa bekal makanan ringan seperti roti atau biskuit untuk persediaan di Muzdalifah.
Lalu bagaimana membuat teh hangat tanpa bekal termos panas? Ah, ternyata di lingkungan mabit itu ada satu PKL. Selain menjual pop mie, teh, atau kopi susu siap saji, dia pun menyediakan jasa menjual air putih panas.
Jamaah pun gembira. Bekal teh celup dan pop mie bisa dimanfaatkan dengan adanya air panas itu. Tentu akan bisa mengurangi rasa lelah setelah perjalanan Arafah-Muzdalifah. Antrean berjam-jam plus berdesak-desakan untuk mendapat angkutan bus, sungguh menguras mental dan tenaga.
Tapi jamaah sedikit terkejut, ternyata segelas air panas dijual dengan harga 5 Riyal atau setara Rp 18.500 dengan kurs 1 SAR = 3.700 IDR.
“Kalau begini, bisa mendirikan rombong di sini,” canda Diso, jamaah haji asal Balongpanggang Gresik, yang sehari-hari membuka beberapa warung soto Lamongan dan warkop di Tanah Air.
Jamaah haji pun maklum. Sebab momen ini setahun cuma semalam itu. Maka dibandrol dengan harga mahal pun, jamaah pada antre membeli air panas.
Tapi yang bikin canda lebih renyah, ternyata ada jamaah yang memergoki, bahwa air panas yang dijual itu diambil dari kran wudhu yang tersedia di area mabit itu. “Tadi saya lihat orangnya ambil air kran di toilet itu,” ujar Melina Setiyani, istri Mohammad Rizal Ghithrif, Ketua Regu 9 Rombongan 3 Kloter 62 SUB. Jadi, pop mie dan teh panah rasa air kran! (Mohammad Nurfatoni)