Bedhol Negoro (2)
Oleh: Emha Ainun Nadjib
PWMU.CO – Sayang sekali saat itu belum ada smartphone, internet, medsos, dan youtube. Sehingga sekarang tidak ada dokumentasi apapun tentang Pasukan Putih itu untuk diviralkan. Akan tetapi memang tulisan saya ini bukan tentang kebenaran masa silam, yang toh terbuntu pada versi-versi dan madzhab-madzhab penafsiran. Yang saya tulis ini adalah pijakan untuk kemashlahatan masa depan, harmoni, kedamaian, dan keselamatan anak cucu di masa depanmu.
Sebelum Pasukan Putih itu datang ke Majapahit, sebelumnya memang terjadi dua kali “tawur” karena isu Agama dan situasi saling curiga. Yakni antara para nasionalis Majapahit yang Pancasilanya adalah Kutaramanawa melawan kelompok Islam. Di Mojoagung, Kawedanan yang desa kelahiran saya termasuk di dalamnya, bentrok kedua terjadi. Sunan Ngudung, pimpinan Pasukan Islam, meninggal terbunuh oleh Pangab-nya Majapahit, yakni Raden Terung, putra ke-2 dari 117 putra-putri Prabu Brawijaya V, adiknya Raden Patah. Sunan Ngudung adalah Imam Masjid Demak di Glagahputih.
(Baca juga: Bedhol Negoro (1): Cerita Cak Nun tentang Pasukan 9 Kuda Putih yang Bikin Prabu Brawijaya Terkesima)
Yang memimpin pasukan Sembilan putih-putih menuju Keraton Majapahit itu adalah KH Jakfar Shadiq, yang kemudian digelari Sunan Kudus, tokoh toleransi luar biasa yang membuat rakyat Kudus sampai hari ini tidak ada yang makan daging sapi. Kalau mau menyerbu Majapahit, kenapa jumlah pasukan hanya sembilan orang. Ternyata memang Sunan Kudus datang untuk hanya menyampaikan surat dari Sunan Kalijaga kepada Prabu Brawijaya V.
Isinya menyatakan bahwa Sunan Kudus datang bertamu untuk menyampaikan bahwa ia sudah memaafkan Adipati Terung yang membunuh Bapaknya. Selebihnya mengajak Brawijaya dan seluruh brayat Majapahit untuk bekerjasama mencari dan menemukan “bebener, pepener, lan kawicaksananing urip”. Mengajak “Sinau Bareng” untuk mencari kebenaran, ketepatan, dan kebijaksanaan hidup.
Prabu Brawijaya V bukan Raja otoriter. Filosofi Majapahit adalah rajutan harmoni antara kebijaksanaan Hindu dengan kearifan Budha. Konstitusinya, Kutaramanawa, membuka pintu kebebasan bagi rakyatnya untuk memeluk kepercayaan yang dipilihnya. Majapahit juga mengakomodasi pertumbuhan Islam yang mengalir dan melebar dari Tuban dan Gresik. Sejak lama Raden Sahid alias Sunan Kalijaga juga sudah blakrakan masuk Keraton Majapahit, bergaul dengan para Empu, para anggota Parlemen maupun pejabat-pejabat lain, serta kerabat Keraton.
(Baca juga: Cak Nun tentang Pemimpin yang “Tuhan”, Jilbab Kanjeng Ratu Kidul)
Bahkan beliau juga yang memandu Empu Supo Anom untuk menyamar ke tlatah Kerajaan Blambangan, yang Menakjingganya mencuri keris pusaka Kiai Sangkelat dari Keraton Majapahit. Skenario intelijen Kalijaga berhasil membawa kembali Kiai Sangkelat ke Majapahit. Bahkan dua bentrok atau tawur antara kelompok “Pancasila” melawan “Islam” sudah diperingatkan sebelumnya oleh Sunan Kalijaga agar tidak usah terjadi. Tetapi keduanya susah dikasih tahu. Akhirnya bergelimpangan korban dari kedua belah pihak, termasuk Pangeran Handayaningrat yang sakti dari pihak Majapahit.
Surat Sunan Kalijaga yang disampaikan oleh Sunan Kudus kepada Brawijaya V mengubah segala-galanya. Itu bukan sekadar kematangan diplomasi, tapi juga kebijaksanaan kemanusiaan dan karamah dari langit. Surat itu memenggal dendam sejarah, meskipun tidak seluruhnya, karena masih menyisakan ratusan tahun bara api Sabdopalon Noyogenggong, yang mewacana sampai ke Keraton Yogyakarta ketika erupsi Merapi 2006 dan 2010, bahkan sampai hari ini.
Terjadilah Bedhol Negoro. Semacam transmigrasi besar-besaran dari Trowulan ke Demak. Majapahit sendiri sedang dalam keadaan krisis ekonomi dan mengalami labilitas politik karena bencana besar semburan lumpur di Canggu dekat Delta Brantas yang beranak Porong dan Kalimas. Semua pihak berpikir perlu recovery dan mungkin transformasi.
(Baca juga: Ketika Cak Nun Bicara tentang Sorga Bernama Mad-Soc)
Sampai memuncak pada strategic grand design “Sirna Ilang Kertaning Bhumi”, yang seolah-olah hanya merupakan kode dari tahun 1500. Suatu formula penyelamatan masa depan melalui pembumihangusan atas sejumlah fakta, pemendaman di timbunan tanah dan gunung, serta penyamaran yang hanya bisa dikuakkan jika anak turun kelak menemukan kode-kodenya.
Kekuatan bangunan politik di Pulau Jawa sedang rapuh, ancaman skala kecil Portugis nyata di lelautan Nusantara, serta skala besar kooptasi panjang efek Renaissance. Seolah-olah mereka sudah tahu akan terjadi 3,5 abad kolonialisme dari dunia Barat. Sesungguhnya sampai hari ini recovery dan transformasi itu belum terjadi. Karena bangsa Jawa sudah menjelma menjadi Bangsa Indonesia dan “Barat” dan “Arab”.
Adipati Terung, yang membunuh bapaknya Sunan Kudus, termasuk ikut berhijrah ke Demak dan aktif dalam pembangunan untuk mengantisipasi kemungkinan transformasi dari Majapahit yang darurat. Mantan Pangab Majapahit itu kemudian menjadi Pangab Demak, tetapi pensiun setelah dua setengah tahun. Kemudian “mendito”, menjadi Sufi pertapa di daerah Bantul Yogya dan menyebut dirinya Panembahan Bodo. Silakan kalau sempat bertamu ke makam beliau untuk menyapa dan belajar tentang kebijaksanaan.
(Bersambung) Cak Nun tentang Kenapa Tidak Kudeta: Sunan Kalijaga yang tidak Setujui Niat Memusuhi Majapahit