Hendra Fokker – Pegiat Sosial
PWMU.CO – Polemik judi online (judol) yang semakin mengkhawatirkan kiranya dapat menjadi perhatian bersama bagi seluruh kalangan. Tak hanya para stakeholder, seluruh lapisan masyarakat menjadi garda terdepan dalam memproteksi keresahan sosial kini.
Tak lain karena arus liar era digital dapat secara langsung bersentuhan dengan semua kalangan. Termasuk mereka yang masih dibawah umur. Pun dengan persoalan pinjaman online (pinjol), yang turut menambah terjadinya krisis sosial berkelanjutan.
Perspektifnya tentu saja perihal persoalan ekonomi masyarakat. Bukan tanpa alasan tentu, pilihan dalam melakukan pinjol tak lain adanya kondisi keterbutuhan. Dimana kerap diperparah dengan kegiatan judi online, yang makin meresahkan sebagai faktnya.
Di Jakarta sendiri, kasus pinjol memang tengah menjadi sorotan umum. Lantaran banyak diantaranya yang terlibat justru berasal dari kalangan anak muda. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merilis porsentase usia penerima pinjol antara 19-34 tahun.
Data hingga tahun 2024, bahwa lebih dari 10 juta masyarakat Indonesia terjerat pinjol, dengan berbagai kasus yang menyertainya. Totalnya sungguh luar biasa, yakni sekitar Rp.22,76 triliun per bulan Maret 2024.
Termasuk usia dibawah 19 tahun, dengan total pinjaman sebesar Rp.168,87 miliar per bulan Juni 2023. Data tersebut belum seluruhnya, khususnya bagi peminjam usia 35-54 tahun, yang rata-rata memiliki kasualistik yang berbeda.
Perihal Gaya Hidup
Ada argumen menyoal gaya hidup sebagai masalah sosial dewasa ini. Khususnya budaya konsumerisme yang identik dengan masyarakat modern. Seperti ungkap Widjojo Nitisastro (2009), sebagai bagian dari transformasi teknologi (sosial) ke arah pola-pola yang ekonomis.
Dalam locus masyarakat modern, perilaku konsumerisme seakan menjadi tipologi yang menjelaskan perihal identitas seseorang. Hal inilah yang terkadang membuat individu dapat bersikap anti-realitas. Dengan memaksakan diri untuk bersikap hedonistik.
Chaney (1996) menjelaskan bahwa gaya hidup dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Apalagi jika berkaitan dengan gaya hidup diluar ekspektasi publik. Kecenderungan menutupi kekurangan pribadi kerap dipaksakan dengan perilaku yang negatif.
Baik dengan pemaksaan kehendak antar personal, atau dengan pendekatan lain yang lebih radikal, semacam perilaku kriminal. Inilah mengapa, dalam patologi sosial dijelaskan bahwa perbuatan melanggar norma-norma sosial kerap diidentifikasi sebagai perilaku kriminal.
Termasuk judi online yang ditentang dan dilarang oleh agama serta masyarakat. Walau dengan tujuan yang dianggap dapat menyelesaikan persoalan ekonomi seseorang. Dengan cara merugikan orang lain, tentu sudah dapat dianggap sebagai perbuatan menyimpang.
Gaya hidup memang menjadi batasan bagi individu dalam kehidupan sosialnya. Lantaran perilaku sosial seseorang kerap disajikan dalam berbagai ruang digital. Dalam pengertian yang lebih luas sebagai tren populis di era modern kini.
Perihal Kesejahteraan Sosial
Jika masalah utamanya adalah kesejahteraan, maka perspektifnya harus dipertegas melalui hak dan kewajiban sebagai warga negara. Dimana kewajiban negara tak lain adalah kesejahteraan bagi seluruh masyarakatnya. Tentunya dengan berbagai kebijakan yang ditetapkan.
Dalam poin ini, jika realitas masyarakat kurang mampu sebesar 78 juta orang menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional-SMERU per tahun 2023. Maka, kondisi rentan sejahtera ini dapat dijadikan sebagai klausul kebijakan antara pemerintah dengan rakyatnya.
Bukan justru memberi ruang bagi pinjol, yang cenderung merugikan bagi masyarakat ekonomi rendah. Baik dalam pemenuhan kebutuhan hidup, pendidikan, maupun kesehatan, yang semestinya menjadi tugas bagi pemangku kebijakan.
Apalagi disebutkan jumlah pengangguran saat ini mencapai 7,2 juta orang per Februari 2024 (Bappenas). Walau hanya berdasar angka, hal ini kiranya dapat memberi kita abstraksi bagaimana sebenarnya realitas sosial saat ini.
Jerat pinjol maupun perilaku negatif judi online faktanya sudah memakan banyak korban. Catatan penting yang kiranya dapat segera diselesaikan secara hukum ataupun kebijakan publik. Dengan proyeksi kesejahteraan yang lebih rasionalistis bagi masyarakat Indonesia.
Editor: Teguh Imami