Alfain Jalaluddin Ramadlan – Pengajar di Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Al Mizan Muhammadiyah Lamongan, Wakil Sekretaris LSBO PDM Lamongan, Ketua RPK PC IMM Lamongan, dan Mahasiswa Prodi Ekonomi Syariah Umla.
PWMU.CO– Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, musik adalah ilmu atau seni menyusun nada atau suara dalam urutan, kombinasi, dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai kesatuan dan kesinambungan.
Musik juga dapat artikan sebagai nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu, dan keharmonisan.
Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memiliki pandangan yang sangat jelas mengenai berbagai aspek kehidupan, termasuk seni dan budaya. Musik, sebagai salah satu bentuk ekspresi seni, tentunya tidak luput dari perhatian Muhammadiyah. Pandangan Muhammadiyah terhadap musik tidak hanya didasarkan pada aspek estetika, tetapi juga pada nilai-nilai Islami yang menjadi landasan gerakan ini.
Muhammadiyah, yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun 1912, selalu menekankan pentingnya menjaga kemurnian ajaran Islam sambil tetap beradaptasi dengan perkembangan zaman. Dalam hal ini, seni dan budaya, termasuk musik, harus dievaluasi berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Musik dalam perspektif Muhammadiyah harus bisa menjadi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan tidak melanggar nilai-nilai Islam.
Suatu ketika terjadi dialog antara Kiai Dahlan dengan muridnya; “Yang disebut Agama itu sebenarnya apa, kiai?” tanya seorang muridnya, lalu Kiai Dahlan mengambil biola dan memainkan lagu “Asmaradhana” kemudian ia bertanya kepada muridnya, “Apa yang kalian rasakan setelah mendengar alunan musik tadi?” salah satu muridnya menjawab “Aku rasakan keindahan, Kiai”, “Semua persoalan mendadak hilang. Tentram”, “Damai sekali” sahut beberapa muridnya. Kemudian Kiai Dahlan menjelaskan ”begitulah Agama, orang beragama adalah orang yang merasakan keindahan, rasa tentram, damai karena hakikat agama itu sendiri seperti musik yaitu mengayomi dan menyelimuti. Jika Agama tidak dipelajari dengan baik maka ia akan membuat dirinya dan orang lain terganggu”.
Musik sebagai Media Dakwah
Salah satu pandangan Muhammadiyah tentang musik adalah dapat dijadikan media dakwah. Musik memiliki daya tarik universal yang mampu menjangkau berbagai kalangan, termasuk generasi muda. Melalui musik yang islami dan sarat akan pesan-pesan moral, Muhammadiyah melihat peluang untuk menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang lebih mudah diterima dan dinikmati oleh masyarakat.
Namun, meski Muhammadiyah membolehkan musik, Muhammadiyah juga menekankan pentingnya batasan dan etika dalam bermusik. Musik yang diproduksi harus bebas dari unsur-unsur yang bertentangan dengan ajaran Islam, seperti lirik yang mengandung maksiat, melenceng dari syariat Islam, provokasi negatif, dan lain sebagainya.
Sehingga Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih telah mengeluarkan fatwa yang berkaitan dengan musik. Terdapat tiga klasifikasi dalam menanggapi tentang adanya keragaman hukum tentang musik.
Pertama, jika dalam rangkaian musik tersebut mengandung keutamaan dan kebaikan maka hukumnya sunnah.
Kedua, jika hanya mengandung hiburan tanpa adanya dampak positif yang signifikan maka hukumnya dapat makruh.
Ketiga, jika musik tersebut mengandung keburukan, mendorong kepada hal-hal maksiat maka jelas hukumnya haram.
Oleh karena itu, musik menurut Muhammadiyah bukanlah hal yang tabu, melainkan sebuah alat yang bisa digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menyebarkan kebaikan. Jadi musik dapat menjadi media yang efektif untuk dakwah. Namun, perlu diingat bahwa segala bentuk seni, termasuk musik, harus selalu diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi, yaitu mendapatkan ridha Allah Swt. Dalam konteks ini, Muhammadiyah terus berupaya untuk menjadikan musik sebagai sarana yang bermanfaat dan bernilai positif bagi umat.
Dalil Diperbolehkan Musik
Berikut beberapa dalil diperbolehkannya musik.
Pertama berlandaskan al-Qur’an Qs al- A’raf ayat 157
اَلَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ الرَّسُوْلَ النَّبِيَّ الْاُمِّيَّ الَّذِيْ يَجِدُوْنَهٗ مَكْتُوْبًا عِنْدَهُمْ فِى التَّوْرٰىةِ وَالْاِنْجِيْلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهٰىهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبٰتِوَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبٰۤىِٕثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ اِصْرَهُمْ وَالْاَغْلٰلَ الَّتِيْ كَانَتْ عَلَيْهِمْۗ فَالَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِهٖ وَعَزَّرُوْهُ وَنَصَرُوْهُ وَاتَّبَعُوا النُّوْرَ الَّذِيْٓ اُنْزِلَ مَعَهٗٓ ۙاُولٰۤىِٕكَ هُمُالْمُفْلِحُوْنَ
“Yaitu,) orang-orang yang mengikuti Rasul (Muhammad), Nabi yang ummi (tidak pandai baca tulis) yang (namanya) mereka temukan tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada pada mereka. Dia menyuruh mereka pada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, menghalalkan segala yang baik bagi mereka, mengharamkan segala yang buruk bagi mereka, dan membebaskan beban-beban serta belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Adapun orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan mengikuti cahaya terang yang diturunkan bersamanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang beruntung.”
Ayat lainnya dalam al-Maidah ayat 4
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَوْفُوْا بِالْعُقُوْدِۗ اُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيْمَةُ الْاَنْعَامِ اِلَّا مَا يُتْلٰى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّى الصَّيْدِ وَاَنْتُمْ حُرُمٌۗ اِنَّ اللّٰهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيْدُ
“Mereka bertanya kepadamu (Muhammad), “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah, ”Yang dihalalkan bagimu (adalah makanan) yang baik-baik dan (buruan yang ditangkap) oleh binatang pemburu yang telah kamu latih untuk berburu, yang kamu latih menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu.”
Sementara itu, dalam hadis Aisyah ra. Aisyah ra, berkata: Ketika Nabi saw. duduk, beliau mendengar suara hiruk pikuk dan suara anak-anak. Lalu beliau bangkit, ternyata beliau melihat suku Habsyi menari-nari dan bermain- main dengan rebana yang dikerumuni anak-anak. Lalu beliau bersabda: Wahai Aisyah kemarilah dan saksikanlah. Lalu aku mendekatinya dan meletakkan dagu pada pundak Nabi dan aku ikut menyaksikannya. Nabi bersabda: Cukupkah (diucapkan 2 kali). Aku menjawab: Belum, agar aku dapat pamer kedudukanku di sisi beliau. Tiba-tiba Umar muncul dan membubarkan mereka. Maka Rasulullah saw, bersabda: Aku melihat setan manusia dan jin lari dari Umar. (Hr. Tirmidzi: 3691)
Begitu juga hadis Aisyah ra. Aisyah ra, berkata: Ali menjumpai Rasulullah Saw, sewaktu di hari-hari Mina (Tasyriq-) Saat itu Nabi Saw berada di Madinah, dan aku memiliki dua gadis anshar, keduanya bukan penyanyi prefesional, keduanya menaboh rabana dan menyanyikan syair-syair yang menggambarkan perang Bua’ts, di hari terbunuhnya para tokoh Aus dan Khazraj. Lalu Nabi pun berbaring di atas tikarnya sambil memalingkan wajahnya dan bertutupkan selembar kain. Lalu Abu Bakar tiba dan membentak kedua penyanyi itu seraya berkata: Kenapa ada seruling setan di rumah Rasul? Lalu Nabi menyingkap tabir kain dari wajahnya seraya bersabda: Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakar, ini adalah hari raya. Sesungguhnya pada setiap kaum memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita. Aisyah berkata: Ketika Abu Bakar lengah, lalu aku mendorong keduanya keluar rumah. (Hr. Bukhari: 907, 909, 944, 2750, 3337; Muslim: 892; Nasai: 1593, 1597; Ibnu Majah: 1898, dan Ahmad: 24095, 24585, 25072).
Begitu juga, hadis Aisyah ra. Saib bin Yazid ra berkata: Seorang wanita menghadap Rasulullah Saw. Lalu Nabi bersabda: Wahai Aisyah, kenalkan anda siapa dia? la menjawab: Tidak ya Rasulullah. Nabi Saw. bersabda: la penyanyi bani fulan, apakah anda ingin dia menyanyikan buatmu? la menjawah Ya. Maka Rasulullah Saw memberinya alat taboh dan iapun menyanyi untuknya. Lalu Rasulullah Saw bersabda: Setan telah meniupkan pada lubang hidungnya. (Hr. Ahmad: 15758 dan Thabrani dalam Kabir: 6686).
Sementara itu dalam hadis Muhammad bin Hatib al-Jumahi. Abu Balji berkata: Aku bertanya Muhammad bin Hatib al-Jumahi: Aku telah mengawini dua wanita yang tidak ditabohkan rebana. Maka ia berkata Sungguh buruk perilakumu, Rasulullah Saw bersabda: yang membedakan halal dan haram sewaktu nikah adalah suara nyanyian dan taboban rebana. (Hr. Tirmidzi: 1088; Nasai: 3369; Ibnu Majah: 1896 dan Ahmad: 18305, 18306).
Ibnu Majah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata: “Aisyah menikahkan orang Anshar kerabat dekatnya,” kemudian Rasulullah Saw. datang sambil bertanya, “Sudahkah engkau memberikan hadiah untuknya?” Aisyah menjawab: “Ya, sudah”. Rasulullah Saw. bertanya lagi “Sudahkah engkau mengirim orang untuk bernyanyi baginya?”Aisyah menjawab: “Tidak”. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya kaum Anshar adalah kaum yang suka akan senda gurau (Nyanyian suka cita).”
Editor Teguh Imami