PWMU.CO – Rombongan Sekolah Pesantren Entrepreneur Al-Maun Muhammadiyah (SPEAM) kunjungi kantor Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Yogyakarta pada Kamis (04/07/2024).
Rombongan SPEAM terdiri dari pimpinan, guru, karyawan dan jajaran Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) kota Pasuruan.
Setibanya di kantor PP Muhammadiyah yang berlokasi di jalan Cik Di Tiro, nomor 23, rombongan tersebut disambut oleh dewan pakar Lembaga Pengembangan Pesantren (LPP) PP Muhammadiyah Dr (cand) Asep Purnama Bakhtiar SAg MSi beserta staf.
Ustadz Asep mengapresiasi SPEAM sebagai sebuah pesantren yang memiliki kekhasan entrepreneurship. Entrepreneur atau entrepreneurship menurut Asep memiliki arti perniagaan atau bisnis Sedangkan dalam bahasa Prancis entrepreneur bermakna mediator atau bisa dimaknai wirausaha.
Wirausaha sendiri lanjut dosen Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) tersebut adalah orang yang memiliki kemampuan untuk usaha sehingga entrepreneur atau wirausaha identik dengan kemandirian.
“Ciri khas pesantren pada mulanya adalah entrepreneur atau entrepreneurship,” ujarnya.
Lebih lanjut Asep menuturkan bahwa para pimpinan Muhammadiyah pada generasi awal sampai tahun 70 an adalah wirausahawan dan berubah pada akhir tahun 80 an, yaitu para pimpinannya adalah pegawai negeri sipil (PNS). Sehingga hal tersebut membuat model kepemimpinan di Muhammadiyah mengalami perubahan.
Tidak Ada Dikotomi Ilmu di Muhammadiyah
Alumni pesantren Darul Arqom Garut ini menambahkan bahwa setelah mendirikan langgar dan organisasi Muhammadiyah, Kyai Ahmad Dahlan mendirikan madrasah muallimin.
Pendirian madrasah Muallimin tersebut adalah sebuah antitesis dari pesantren yang hanya mengajarkan ilmu agama dan sekolah yang hanya mengajarkan ilmu umum.
“(Pendirian Muallimin) supaya tidak ada dikotomi ilmu pengetahuan. Antara ilmu agama dan ilmu umum,” ucapnya.
Ia juga menyampaikan bahwa pada zaman dahulu tidak ada dikotomi pengetahuan. Maka ulama dulu selain ahli tafsir juga merupakan ilmuwan dan filsuf. Karya mereka pun berjilid-jilid, padahal belum ada mesin ketik.
Ketua Majelis Pengembangan Kader (MPK) Pimpinan Pusat Muhammadiyah (2005-2010) itu juga menegaskan tentang terminologi yang benar tentang ilmu. Menurutnya, ilmu itu tidak dicari atau dituntut sehingga istilah menuntut ilmu dan mencari ilmu tidak tepat.
Yang benar menurut Asep Ilmu itu diberikan. Hal itu lanjutnya berdasarkan surat Luqman ayat: 12.
وَلَقَدْ ءَاتَيْنَا لُقْمَٰنَ ٱلْحِكْمَةَ أَنِ ٱشْكُرْ لِلَّهِ ۚ وَمَن يَشْكُرْ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِۦ ۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ ٱللَّهَ غَنِىٌّ حَمِيدٌ
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
Ketika seseorang sadar bahwa ilmu tersebut diberikan oleh Allah dan guru adalah fasilitas atau mediator, hal itu yang kemudian menyadarkannya tentang sang pemberi ilmu sejati, Allah.
“Dengan demikian ilmu tidak boleh dikuasi dengan cara-cara yang curang. Dalam bahasa agama ilmu itu adalah nur (cahaya) atau pelita,” pungkasnya. (*)
Penulis Dadang Prabowo Editor Ni’matul Faizah