PWMU.CO – Akhir-akhir ini beredar broadcast lewat media sosial (medsos) yang cukup menggelitik tentang Muhammadiyah terkait soal ziarah kubur. Judul asli sebenarnya adalah “Akhirnya Ketum Muhammadiyah Bolehkan Ziarah Kubur”.
Tapi, mungkin karena ada motif-motif yang tersembunyi, asli tulisan itu kemudian ditambah-tambahi saat beredar di medsos. Diantaranya menambahkan Ketua Umum Muhammadiyah “tegas menganjurkan”, “menyunnahkan”, dan berbagai kalimat penyesatan informasi lainnya.
Jika melihat tulisan aslinya, meski ditulis oleh orang yang mengaku “Mahasiswa Program Magister Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, ada beberapa dugaan tentang tulisan ini.
(Baca juga: Ziarah Kubur Versi Muhammadiyah yang Sering Disalahpahami)
Pertama, penulisnya memang tidak memahami Muhammadiyah, hanya berdasarkan informasi sepihak dari non-Muhammadiyah. Indikasinya, ketika yang bersangkutan menulis “Namun sebaliknya, masyarakat Muhammadiyah cenderung melarangnya”. Kutipan tersebut sudah tentu tidak punya pijakan dalam kehidupan warga Muhammadiyah.
Dugaan yang kedua, bisa jadi memang penulisnya memahami Muhammadiyah, tapi memang sengaja melakukan disinformasi atau penyesatan informasi. Pola-pola seperti yang kedua ini, meminjam istilah Guru Besar UIN Sunan Ampel Surabaya, Prof Syafiq A. Mughni, sebagai sebuah manipulasi informasi yang (sengaja) disalahgunakan untuk melakukan pembelaan terhadap tradisi yang mendapat banyak kritikan itu.
“Dalam sejarah Muhammadiyah, tidak ada yang namanya larangan ziarah kubur. Yang diharamkan itu bukan ziarahnya. Akan tetapi seringkali ziarah dipakai masyarakat untuk berwasilah pada yang mati,” tegas Syafiq.
(Baca juga: Muhammadiyah-NU Berbeda ‘Jalan’ ketika Ziarah ke Makam Sahabat Nabi di Guanzhou Tiongkok)
Lantas bagaimana Muhammadiyah dalam memandang hukum ziarah kubur ini? Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim, DR Syamsuddin, menyatakan bahwa sebelum menentukan status hukum sebuah perkara, harus berangkat dari dalil atau nash al-Quran maupun hadits Nabi Muhammad saw.
Dalam masalah ziarah kubur ini, salah satu dalil yang menjadi pusaran dari status hukumnya adalah riwayat Imam Muslim, Imam Baihaqi, Imam Nasa’i, Imam Turmudzi, Imam Abu Dawud, Imam Ahmad, dan lain-lainnya. Teks hadits tersebut adalah sebagai berikut:
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ فَزُورُوهَا فَإِنَّهَا تُذَكِّرُكُمُ الْمَوْتَ. وَفِي رِوَايَةٍ تُذَكِّرُكُمُ الْأَخِرَةَ
Artinya: Aku pernah melarang kalian ziarah kubur, sekarang berziarah kalian, karena ia mengingatkan kalian pada mati. Dalam riwayat lain, “mengingatkan kalian pada akhirat.”
(Baca juga: Begini Muhammadiyah Memandang dan Perlakukan Ajaran Wahhabi dan Ahlul Quran was Sunnah dan Perebutan Merek Aswaja Itu)
Dari hadits itu, setidaknya ada tiga hal yang perlu dicermati. Bahwa Rasulullah saw pernah melarang umat Islam untuk berziarah kubur. Kemudian Nabi memerintahkan umatnya untuk melakukan apa yang pernah dilarangnya, dan tujuan dari ziarah kubur adalah untuk mengingat mati atau akhirat.
Lantas bagaimana mengambil kesimpulan hukum dari sebuah perkara yang “diperintahkan setelah sebelumnya dilarang”? Dalam masalah seperti ini, para jumhur ulama telah membuat kaidah ushul fiqih yang berbunyi:
اَلْأَمْرُ بَعْدَ النَّهْيِ يُفِيْدُ اْلإِبَاحَةَ
Artinya: Perintah yang jatuh setelah adanya larangan hukumnya adalah mubah/ boleh.
(Baca juga: Ini Jawaban, Mengapa Jumlah Kyai di Muhammadiyah Semakin Menurun)
“Dari kaidah ini bisa diambil kesimpulan bahwa hukum asal ziarah kubur adalah boleh boleh saja atau tidak dilarang,” jelas Syamsuddin. Namun dalam praktik dan tujuannya bisa memunculkan ziarah syar’iy, bid’iy, dan syirkiy.
Disebut ziarah syar’iy jika tujuannya adalah mengingat mati atau akhirat, dan praktiknya tidak tertuju pada kuburan tertentu, dan tidak terikat oleh waktu tertentu. Syaikh Ibn Utsaimin dalam syarah Riyadhus Shalihin, menegaskan tidak ada riwayat para sahabat nabi saw atau ulama generasi tabiin yang berbondong bondong menziarahi kuburan syuhada Uhud. Padahal yang dimakamkan disitu nyata nyata para kekasih Allah (waliyullah).
Disebut ziarah bid’iy jika tujuannya adalah tawassul kepada arwah penghuni kubur, dan praktiknya menziarahi kuburan tertentu, dan terikat oleh waktu tertentu (misalnya menjelang masuknya bulan ramadan). Disebut ziarah syirkiy, jika tujuannya adalah minta minta kepada arwah penghuni kubur.
(Baca juga: Dipelintir: Berita PWMU.CO tentang Pembatalan Pengajian Firanda Andirja di Malang)
“Ziarahlah ke kubur, agar kamu ingat akhirat dan janganlah mengerjakan di situ sesuatu yang tiada diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya, seperti meminta-minta kepada mayat dan membuatnya (sebagai) perantaraan hubungan kepada Allah,” kata Syamsuddin mengutip Himpunan Putusan Tarjih (HPT) Muhammadiyah yang telah diputuskan sejak tahun 1936.
Dengan demikian Muhammadiyah tidak pernah melarang ziarah kubur dari dulu hingga sekarang. Pendirian resmi Muhammadiyah sesuai HPT, hukum ziarah kubur adalah mubah, tinggal apa tujuannya dan bagaimana praktiknya. (abu alhaedar)