KH Ahmad Sufhansa Mudhary yang hidup di pertengahan abad ke 20, itu cukup jeli dalam membaca tanda-tanda zaman. Puteranya yang telah dididiknya dengan ilmu agama tidak dikirimnya ke pesantren sebagaimana umumnya orang Madura pada 1930-an. Bahaudin justru dikirim ke Yogyakarta untuk belajar di Kweeschool Muhammadiyah (Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah). Dengan harapan Bahaudin dapat bergaul dengan putera-puteri dari berbagai pelosok Indonesia, sehingga nantinya dia lebih bisa merasa menjadi orang Indonesia daripada menjadi orang Madura.
Usai menamatkan pendidikannya di Kweekschool Muhammadiyah Yogyakarta tahun 1940, kemudian mengajar di madrasah Pasian (pesisir utara Madura) Pamekasan, berbatasan dengan Pasongsongan, Sumenep. Masa muda Kiai Baha, begitu dia disapa, terbilang modern. Dia mengajar musik kepada teman-teman Tionghoa dengan memungut biaya Rp. 1 (satu rupiah uang Belanda) tiap orang. Kiai Baha memang punya ijazah musik dan pernah mendapat penghargaan sebagai juri dari mantan Menteri Penerangan RI, Maladi, dalam rangka pemilihan bintang radio.
(Baca:Dua Kyai Lahirkan Tokoh Nasional Penerima PWI Jatim Award)
Selain pandai bermusik, Kiai Baha juga menguasai lima bahasa asing. Dengan keahlian ini kemudian dia mengajar kursus bahasa Arab, Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda. Dia juga menyewakan buku-buku bibliotek (perpustakaan) dengan sewa setiap orang Rp. 2 per minggu. Sedang setiap malam Rabu, Kiai Baha mengadakan kursus ilmu Nahwu Sharaf dan setiap malam Minggu dia mengadakan tukar pikiran menyangkut soal-soal keagamaan.
Bahaudin muda ternyata memang anak jenius, meskipun dia telah menamatkan sekolah yang setingkat sekolah menengah, ternyata dia punya semangat otodidak yang tinggi. Dia senang membaca dan mempelajari berbagai macam ilmu. Ia merasa tergoda oleh peribahasa Madura yang berbunyi Tera ta Adamar, yang artinya terang tanpa lampu. Dalam penjelasan orang-orang tua, peribahasa itu bisa bermakna pandai tanpa guru.
Bahaudin berkeyakinan bahwa semua ilmu itu berasal dari Sang Pencipta, Allah Rabbul Alamin. Jadi kalau seseorang mendekatkan diri kepada Allah dengan cara yang dibenarkan Allah akan mudah meminta sesuatu kepada-Nya, termasuk meminta ilmu.
Dari sini dia berkhidmat kepada Allah dengan ibadah shalat, karena shalat itu merupakan tiang agama. Dia yakin dengan pencerahan rohani melalui ibadah akan membuat otak dan hati akan bersih dari kotoran sawang dan debu, sehingga mudah untuk menangkap lambang-lambang dan isyarat-isyarat zaman yang diperlihatkan Allah, yang kesemuanya itu bisa tersusun menjadi ilmu.
selanjutnya halaman 3…