Meskipun Kiai Haji Bahaudin Mudhary banyak menyerap pemikiran rasional Barat, tetapi dalam hal-hal tertentu dia juga memberi porsi yang seimbang kepada intuisi untuk berkembang menghayati hidup bersama para santrinya. Bahkan Kiai sangat terampil memahami alat-alat musik modern, seperti biola dan piano, juga alat musik tradisional seperti terbang untuk mengiringi berbagai lagu kasidah dimainkannya dengan baik.
Dari kehidupan yang menjaga keseimbangan antara rasio dan rasa (intuisi) seperti itu, Kiai Baha dapat mengajarkan Islam yang bisa diterima dengan totalitas akal dan perasaan santri-santrinya. Islam yang dihidupkan Kiai tidak terjebak oleh pemahaman formalistik yang hanya mementingkan kulit dan lahir saja. Lebih dari itu, pemahaman dan penghayatan yang mengacu pada pencarian hakikat agama dianggap tidak kalah pentingnya, agar agama yang dipeluk bisa memberi dorongan kepada laju peradaban.
(Baca:Dua Kyai Lahirkan Tokoh Nasional Penerima PWI Jatim Award)
Barangkali yang terpatri bila mengenang Kiai Baha adalah aktivitasnya. Hidupnya selalu penuh kesibukan yang kesemuanya nyaris hanya untuk kepentingan masyarakat. Pagi hari sesudah melaksanakan shalat dhuha dia mengajar, di siang hari menerima tamu-tamu yang membawa berbagai persoalan untuk dibantu pemecahannya.
Sejenak setelah makan siang dan bercengkrama dengan putera-puterinya, dia istirahat siang. Sore hari baru tidak ada tamu atau kegiatan di luar, dia mengarang buku. Habis maghrib, tamu pun harus kembali dia hadapi. Itu pun jika tak benturan dengan mengisi ceramah pada acara-acara tertentu atau acara keagamaan dan organisasi yang dia pimpin.
Tengah malam dia melaksanakan shalat tahajjud bersama para santrinya. Barulah sehabis shalat tahajjud, dia menikmati makan malam. Sehabis makan, biasanya dia tidak lantas pergi tidur, tapi menyempatkan diri memainkan biola, akordion atau piano. Di keheningan malam suara alat musik tersebut sangat indah dan syahdu terdengar, dan getaran gitarnya merambah menyentuh hati.
Kadang dia mengambil gitar, petikan gitarnya mengiringi lagu kesayangannya, diantaranya “South of the Bourder”, “Goodbye Hawaii” atau “La Paloma”. Dalam larutnya malam, dia sangat menikmati kedamaiannya dan hanya pada saat itulah dia rileks setelah seharian tenggelam dalam aktivitas yang seakan tidak berujung.
Dia mengajar bahasa Jerman, Perancis dan Belanda di SMA Adirasa, SMA Negeri dan SMA Pesantren miliknya. Bila dia memberi ulangan-ulangan kepada murid-muridnya, istrinya (Hj. Siti Kartini – Ketua Cabang Aisyiyah Sumenep tahun 1959-1963) yang mengoreksi ulangan tersebut.
selanjutnya halaman 4…