Bila akan mengajar, dia selalu dijemput dan diantar salah seorang rnuridnya dengan sepeda motor. Padahal, guru-guru yang lain tidak diperlakukan demikian. Ini mungkin karena kedekatan dia dengan muridnya. Salah seorang muridnya yang setia menjemputnya adalah Oei Tek Hoey, WNI keturunan, dan sampai kini masih tetap menjalin hubungan silaturrahim dengan putera-puteri dia.
Selain itu, dia juga senang mencipta lagu. Di antara lagu ciptaannya adalah Mars SMA Negeri Sumenep, yang hingga sekarang tetap dilestarikan oleh SMA tersebut. Buku catatan lagu-lagu dia masih tersimpan dengan baik, walaupun sudah lapuk dimakan usia. Partitur tersebut ditulis tangan, sangat rapi meski ditulis dengan stalpen.
Begitu juga catatan-catatan ceramah dia, misalnya bila mengisi acara di RRI Sumenep ditulisnya dengan rapi dan sistematis. Isi ceramahnya juga tidak membikin polemik, dan umumnya adalah menggugah hati untuk selalu berusaha dekat dengan Sang Maha Kuasa dan mempelajari tanda-tanda penciptaan Allah SWT dengan terus meningkatkan ilmu dan wawasan kita. Tentu saja kadangkala diselingi humor di sana-sini, karena sebetulnya dia juga humoris dengan petuah yang penuh warna “parigan” (“sasemmon”, Madura).
(Baca:Dua Kyai Lahirkan Tokoh Nasional Penerima PWI Jatim Award)
Ada lagi keunikan dia sebagai perhatiannya kepada putera-puterinya pada waktu kecil. Menyadari dirinya sibuk, tapi selalu ingin dekat dengan putera-puterinya, ada sesuatu yang dia lakukan sebelum berangkat mengajar. Setiap pagi, dia menggambar, lebih tepatnya membikin komik di selembar kertas. Ceritanya tentang putera-puterinya sendiri. Setiap pagi, begitu bangun tidur otomatis putera-puterinya masuk ke kamar ayahnya untuk membaca komik yang telah tersedia di meja tulis.
Keseharian seorang ayah yang memiliki gaya mirip orang Eropa itu tak lantas menghilangkan karismanya sebagai Kiai. Keberhasilannya menyejukkan diri dan keluarganya juga ditebar untuk umat. Kiai Baha benar-benar memfungsikan masjid sebagai pusat peradaban. Mungkin kurang tepat menyebutnya masjid karena bangunannya tidak begitu besar. Orang biasa menyebutnya “langgar”, namun aktivitasnya tetap saja seperti masjid.
Selain sebagai sarana ibadah, juga sebagai tempat belajar murid-murid Kiai Baha yang mau ujian sekalian ikut shalat tahajjud berjamaah dengan dia. Pelajar Islam Indonesia (PII) sering juga menggelar kegiatannya di masjid ini. Kuliah maghrib, training leadership, diskusi dan sebagainya, dan tentunya dia sangat mendukung kegiatan remaja ini.
selanjutnya halaman 5…