Silviyana Anggraini (Foto: PWMU.CO)
Silviyana Anggraeni – Aliansi Penulis Muhammadiyah Lamongan
PWMU.CO – Kontroversi soal konsesi tambang seketika menyeruak setelah majalah tempo memuat artikel berjudul “Muhammadiyah Putuskan Terima Izin Tambang” pada 25 Juli 2024 lalu. Dilingkup Muhammadiyah sendiri pro kontra dalam pengambilan sikap pimpinan tertinggi apalagi berkaitan dengan hajat hidup orang banyak adalah sesuatu yang biasa, termasuk pada isu penawaran konsesi tambang dari pemerintah kepada organisasi masyarakat keagamaan seperti Muhammadiyah dan NU.
Dalam hitungan jam, banyak kader Muhammadiyah menyuarakan pendapatnya, baik melalui video seperti politisi sekaligus mantan pimpinan pusat Muhammadiyah Amin Rais yang secara frontal meminta Muhammadiyah untuk beristighfar dan menolak tawaran tersebut. Atau melalui tulisan seperti Edi Purnomo anggota majelis pustaka informasi dan digitalisasi PWM Jatim yang justru berpendapat bahwa tawaran itu adalah tanggung jawab sosial bagi Muhammadiyah dan NU. Ada pula yang melalui kegiatan webinar seperti PWNA jawa timur yang berpendapat agar Muhammadiyah menolak tawaran tersebut demi keberlangsungan hidup dan nasib perempuan sebagai yang paling terdampak dalam aktifitas tambang.
Dari artikel yang dimuat oleh Tempo, sedikitnya ada tiga alasan mengapa Muhammadiyah mau mempertimbangkan tawaran tersebut. Pertama, untuk meminimalkan dampak dari pertambangan itu. Kedua, agar pendistribusian hasil tambang dapat merata dan berkeadilan. Ketiga, juga tentu sebagai panggilan sosial untuk turut andil secara langsung. Agaknya Muhammadiyah tidak ingin gegabah dan melakukan penolakan tanpa kajian yang mendalam. Terlebih akhir-akhir ini banyak terjadi skandal korupsi tambang yang sangat merugikan negara.
Secara garis besar, umumnya semua orang sepakat menolak konsesi diberikan kepada ormas masyarakat keagamaan, dengan catatan pengelolaan tambang benar-benar dilakukan secara baik untuk keadilan dan kemaslahatan masyarakat. Tetapi faktanya pengelolaan tambang yang terjadi saat ini dinilai hanya menguntungkan segelintir orang dan mengabaikan kepentingan banyak orang bahkan menimbulkan kerusakan alam. Itulah yang membuat Muhammadiyah dan mungkin juga NU berpikir ulang untuk menolak. Di khawatirkan jika diambil oleh korporasi yang tidak bertanggung jawab akan lebih memperparah kondisi bumi indonesia.
Di lain sisi saat ini Indonesia belum bisa lepas dari aktifitas pertambangan, sedikitnya ada empat alasan. yang pertama sektor pertambangan masih menyerap banyak sekali tenaga kerja dengan total 308.107 tenaga kerja pada tahun 2023. Yang kedua produksi pertambangan masih menjadi sentral pemenuhan kebutuhan industri, rumah tangga, komersial dan petani. Bahkan menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan konsumsi energi sebanyak 45% khususnya batubara dan minyak bumi. Yang ketiga berkaitan dengan visi indonesia tentang sustainable developmen atau pembangunan keberlanjutan pasti tidak bisa lepas dari aktifitas dan produksi pertambangan. Yang keempat belum ada kesiapan transisi energi pengganti yang lebih ramah lingkungan.
Keempat alasan itulah yang membuat indonesia belum bisa lepas dalam aktifitas tambang. Padahal pertambangan di indonesia saat ini menimbulkan banyak masalah. Diantaranya kerusakan lingkungan dengan tingkat yang cukup parah, regulasi yang tidak berasaskan keadilan dan kemaslahatan, mengesampingkan hak-hak rakyat, dan yang terakhir tambang sering kali dijadikan sebagai alat politik. Akhirnya lagi-lagi alam dan rakyat khususnya suku adat menjadi korban.
Kalangan penolak konsesi juga berpendapat bahwa peraturan presiden nomor 70 tahun 2023 dan peraturan pemerintah nomor 25 tahun 2024 yang memuat tentang kewenangan menteri investasi /kepala BKPM memiliki kewenangan untuk menawarkan dan memberikan IUP kepada ormas keagamaan sangat bertentangan dengan UU minerba.
Namun sebenarnya bukan tanpa sebab jikalau pun Muhammadiyah menerima konsesi tersebut, dikarenakan Muhammadiyah melalui majlis tarjih nya telah mengeluarkan fatwa soal diperbolehkannya tambang dan urgensi transisi energi berkeadilan sampai ada dalil, keterangan dan bukti bahwa itu dilarang. Kapan tambang itu dilarang, tentu saat terjadi pelanggaran dan kerusakan didalamnya. Karena jelas hal tersebut tidak sesuai dengan perjuangan dan tujuan Muhammadiyah. Selain fatwa tarjih PP Muhammadiyah juga berpijak pada keputusan muktamar ke-47 di makasar pada tahun 2015 yang isinya mengamanatkan kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk memperkuat dakwah dalam bidang ekonomi dimana pada tahun 2017 Muhammadiyah telah menerbitkan pedoman Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM) untuk memperluas dan meningkatkan dakwah Muhammadiyah di sektor industri, pariwisata dan jasa.
Adapun soal keputusan Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk menerima penawaran konsesi pada Minggu, 28 Juli 2024 tersebut banyak pihak termasuk penulis menanti langkah apa yang akan dilakukan Muhammadiyah. Mampukah Muhammadiyah dengan segala potensinya turut memperbaiki kondisi pertambangan seperti kesuksesan Muhammadiyah yang sudah-sudah di bidang lainnya seperti kesehatan, pendidikan. Semoga Allah senantiasa menuntun Muhammadiyah melalui tim pengelola tambang yang diketuai Prof. Dr. H. Muhadjir Effendy, M.Ap. dalam jihad muamalahnya. Amin.
Editor Teguh Imami