Oleh HMI el Hakim SH MH CLA CCD CPArb – Wakil Ketua LHKP PDM Surabaya
PWMU.CO – Sektor kesehatan merupakan bidang yang krusial dari suatu bangsa mengingat manusia merupakan makhluk ragawi. Visi Indonesia emas 2045 tentu membutuhkan SDM sehat guna realisasinya dan hal tersebut secara akumulatif dimulai sejak saat ini.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang terbit harus diapresiasi sebagai wujud konkret negara dalam meregulasi soal sektor strategis ini. Akan tetapi apresiasi bukan berarti tanpa kritik, terlebih jika terdapat permasalahan krusial bahkan konstitusional yang berisiko terlanggar jika regulasi tidak diteliti secara mendalam. Salah satu isu krusial dalam PP 28/2024 yang patut untuk dikritisi adalah ketentuan dalam Pasal 103 ayat (4) huruf (e) yang pada pokoknya membuka celah ruang bagi generasi muda khususnya usia sekolah dan remaja untuk berhubungan seksual secara bebas atau diluar hukum. Bagaimana penjelasannya?
Hal pertama yang harus diperhatikan dalam PP ini adalah ketentuan Pasal 98 yang bermuatan ideologis bahwa Upaya Kesehatan reproduksi dilaksanakan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama. Posisi agama sebagai norma fundamental dalam agenda upaya kesehatan reproduksi harus ada baik secara substansial maupun prosedural pada implementasi setiap regulasinya.
Hal ini yang menjadi landasan fundamental dan krusial mengingat konstitusi baik Pembukaan khususnya Pasal 29 mengamanatkan bahwa agama merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam berbangsa bernegara termasuk di sektor kesehatan. Dengan kata lain, agama sebagai kacamata analisis regulatif dapat digunakan sebagai batu uji apakah suatu regulasi sesuai atau tidak dengan norma agama, termasuk PP 28/2024.
Selanjutnya Pasal 103 ayat (1) PP 28/2024 mendefinisikan bahwa, “Upaya Kesehatan sistem reproduksi usia sekolah dan remaja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) huruf b paling sedikit berupa pemberian komunikasi, informasi, dan edukasi, serta Pelayanan Kesehatan reproduksi.”
Kemudian Pasal 103 ayat (4) berbunyi, “Pelayanan Kesehatan reproduksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:
- deteksi dini penyakit atau skrining;
- pengobatan;
- rehabilitasi;
- konseling; dan
- penyediaan alat kontrasepsi.”
Pelayanan Kesehatan reproduksi dalam Pasal 103 ayat (4) huruf (e) inilah yang berpotensi problematik secara normatif khususnya dalam pandangan agama Islam (Islamic Worldview). Problematika ketentuan ini ada pada tidak adanya kejelasan dan tujuan dari penyediaan alat kontrasepsi bagi anak usia sekolah dan remaja bahkan bagian Penjelasan PP 28/2024 menyatakan cukup jelas atas pasal ini.
Hal ini tentu dapat membuat ruang dan celah penyalahgunaan hukum (abuse of law) yang menjadi dalil bagi seseorang untuk melakukan hubungan seksual secara bebas dan diluar hukum yang secara jelas juga merupakan pelanggaran atas norma agama Islam.
Atas hal tersebut di atas, penulis memberikan catatan dan usulan sebagaimana berikut:
- Pasal 103 ayat (4) huruf (e) PP 28/2024 berpotensi disalahgunakan dan secara terang membuka celah normalisasi hubungan seksual secara bebas dan diluar hukum bagi generasi muda khususnya anak usia sekolah dan remaja;
- Potensi dan risiko tersebut diatas dapat disiasati dengan menerbitkan revisi PP baik menghapus ketentuan yang ambigu tersebut atau setidak-tidaknya memberikan penjelasan secara detail perihal maksud dan tujuan dari regulasi tersebut jika diperuntukkan sebagai sarana edukasi serta perlu penegasan terkait pengawasan atas penggunaan alat kontrasepsi nya ;
- Pemerintah Daerah kabupaten/kota sebagaimana Pasal 128 huruf (e) PP 28/2024 yang bertanggungjawab dalam penyelenggaraan Upaya Kesehatan reproduksi perlu diberikan fungsi pengawasan dan penindakan atas hal tersebut diatas, tidak hanya pemantauan dan penilaian saja;
- Menteri Kesehatan berdasarkan Pasal 130 PP 28/2024, maupun institusi terkait lain seperti Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menko Pembangunan Manusia dan Kebudayaan bahkan Presiden harus bertanggungjawab dengan menerbitkan regulasi protektif dan preventif atas permasalahan potensi penyalahgunaan penyediaan alat kontrasepsi untuk generasi muda Indonesia agar tidak melanggar norma konstitusi dan agama termasuk budaya ketimuran (asian values) sebagaimana telah ditegaskan dalam Pasal 98 PP 28/2024 ;
- Perlunya negara khususnya kementerian kesehatan dalam hal ini untuk melibatkan lebih banyak partisipasi (meaningful participation) dari Institusi keagamaan agar regulasi yang diterbitkan mengakomodasi substansi dan perlindungan norma agama guna mewujudkan Indonesia 2045 yang semakin berkemajuan.
Surabaya, 6 Agustus 2024. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah