Alat deteksi penyakit rematik oleh Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang. (Hassanal Wildan/PWMU.CO).
PWMU.CO – Penyakit rheumatoid arthritis atau rematik merupakan penyakit autoimun dengan gangguan peradangan jangka panjang pada sendi. Umumnya penyakit ini sering terdapat pada lansia, meskipun tidak menutup kemungkinan orang dewasa ataupun para remaja juga dapat mengalaminya.
Maka dari itu, Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) berinovasi ciptakan alat pendeteksi dini penyakit rheumatoid arthritis melalui kuku.
5 Mahasiswa Inovatif
Mahasiswa inovatif tersebut adalah Nuri Vhirdausia, Frenischa Yincenia W, dan Desta Karina. Mereka merupakan Mahasiswa Program Studi (Prodi) Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan (Fikes). Selain itu, ada juga Abi Mufid Octavio dan Muhammad Lutfi yang merupakan Mahasiswa Prodi Teknik Mesin Fakultas Teknik (FT).
Abi Mufid Octavio menjelaskan bahwa jika penyakit rheumatoid arthritis ini sudah memasuki masa akut, maka tidak dapat tersembuhkan sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan.
Maka, perlu adanya identifikasi sedini mungkin untuk mengetahui seseorang berpotensi terkena penyakit rematik atau tidak. Menariknya, alat tersebut telah teruji coba kepada lebih dari 100 sampel dan mendapatkan respon yang positif.
“Sampel kami ada banyak mulai dari remaja, dewasa, dan lansia. Setelah menggunakan alat kami untuk deteksi dini kemudian melakukan re-check lebih lanjut ternyata didapati hasil yang efektif” jelasnya.
Abi, sapaan akrabnya, melanjutkan bahwa alat tersebut bekerja dengan menganalisis kondisi kuku, mulai dari tekstur, ridging atau berlubang, kuku menguning, rapuh dan pendarahan serpihan.
Adapun kondisi visual tersebut tidak dapat terlihat secara langsung lewat mata telanjang. Selanjutnya jika terdapat indikasi rematik, maka akan berlanjut menuju observasi lebih lanjut dengan dokter.
“Indikasi rematik itu ada banyak, dan alat kami bertugas untuk memvisualisasi hasil dari kuku yang telah difoto untuk diidentifikasi lebih lanjut,” lanjutnya.
Tantangan Alat Deteksi
Tentu, setiap inovasi pasti mengalami kesulitan dalam pengembangannya, dan hal itu juga berlaku bagi Abi bersama dengan timnya. Ia mengaku memerlukan waktu lebih dari satu bulan untuk melakukan pengembangan untuk inovasi tersebut.
Dan kedepannya, alat tersebut juga akan tersedia secara masal, tentu tidak lain untuk menambah ragam inovasi dalam dunia kesehatan.
“Dengan biaya produksi sebesar 7 juta rupiah, menurut kami itu nilai yang kecil untuk inovasi dalam dunia kesehatan” ungkapnya. Selain itu, mereka juga mengaku akan menjalin kerjasama dengan perusahaan yang nantinya dapat membantu proses komersialisasi.
Terakhir, dia berharap lewat inovasinya bersama tim dapat memberikan warna baru dalam dunia kesehatan. Masyarakat dapat mengidentifikasi sejak dini terkait gejala dari penyakit rematik.
Dengan demikian, pasien yang terindikasi positif dapat segera ke rumah sakit untuk nantinya menerima pengobatan lebih lanjut. Dia juga berpesan kepada mahasiswa khususnya jas merah kampus putih untuk tidak bosan-bosan berfikir dan menciptakan produk inovatif.
“Dahulu para penemu inovasi terbarukan itu banyak yang masih berusia muda. Dan anak muda saat ini pasti juga masih bisa melakukan hal tersebut. Jangan bosan dalam berinovasi, karena segala inovasi itu tentu ada manfaatnya” pesannya. (*)
Penulis Hassanal Wildan, Editor Danar Trivasya Fikri