Rifqi Ridlo Phahlevy, Foto: Umsida
PWMU.CO – Ramai di jagat maya tentang kontroversi anggota paskibraka lepas jilbab saat pengukuhan di Istana Garuda, Ibu Kota Baru Nusantara (IKN) pada Selasa, (13/08/2024). Melansir dari laman CNN Indonesia pada 15 Agustus 2024, Purna Paskibraka Indonesia (PPI) mencatat ada 18 anggota pasukan pengibar bendera pusaka (Paskibraka) perempuan yang tidak mengenakan jilbab pada saat itu. Padahal ketika latihan, mereka mengenakan jilbab.
Hal itu memunculkan berbagai opini publik mengingat saat ini paskibraka telah berpindah di bawah naungan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Sebelumnya, mereka dinaungi oleh Kementrian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora).
Menanggapi hal itu, pakar hukum tata negara Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Dr Rifqi Ridlo Phahlevy SH MH menjelaskan bahwa paskibraka dalam rangka peringatan HUT RI harus dilihat sebagai tradisi ketatanegaraan dan dalam perspektif Hak Konstitusional warga negara.
Paskibraka adalah tradisi ketatanegaraan
Sebagai sebuah tradisi ketatanegaraan, paparnya, pengaturan terkait bagaimana pelaksanaan upacara bendera, termasuk didalamnya bagaimana tata krama pelaku upacara bendera diikat oleh kebiasaan ketatanegaraan yang selama ini berjalan. Dan peraturan atau keputusan administrasi yang mengatur secara formal.
“Tata krama berpakaian yang selama ini mengikat petugas paskibraka, secara formal berlaku sebagai aturan, sehingga dapat diletakkan sebagai pedoman dalam melaksanakan tugas paskibra,” tutur dosen prodi Hukum Umsida itu.
Dilihat dari aspek tradisi dan aturan internal, ketentuan terkait batasan pakaian oleh BPIP, tidak bermasalah jika praktek atau kebiasaan pakaian paskibraka dalam penyelenggaraan upacara bendera selama ini tidak mengenal penggunaan jilbab bagi petugasnya.
“Namun perlu dipahami bahwa sebagai aturan yang lahir dari kebiasaan ketatanegaraan, pakaian, tata cara, dan teknis pelaksanaan upacara bendera bukanlah hal yang sifatnya tidak dapat diubah, termasuk anggota paskibraka lepas jilbab,” ucapnya.
Cara merubahnya pun tidak harus dengan menerbitkan aturan formal baru. Layaknya kebiasaan yang bisa berubah, sejarah ketatanegaraan kita juga melazimkan perubahan dalam kebiasaan ketatanegaraannya.
Ia memberikan contoh hal serupa pada sidang tahunan MPR dan prosesi pembacaan pidato kenegaraan oleh presiden di depan MPR yang mengalami perubahan pasca reformasi.
Begitu juga pada upacara bendera yang dipindahkan dari istana merdeka ke IKN. Itu merupakan sesuatu yang baru juga, yang bisa jadi akan menghadirkan tradisi ketatanegaraan baru.
Aturan paskibraka lepas jilbab harus diubah
Dr Rifqi melanjutkan, “Aturan paskibraka lepas jilbab harus dan dapat diubah, dan harus. Hal itu berkaitan dengan hak konstitusional warga negara, yaitu prinsip kebebasan beragama dan hak berpartisipasi dalam pemerintahan,”.
Perubahan ini, katanya, adalah bagian dari proses bangsa menjamin partisipasi bernegara yang merdeka dan selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Ia menjelaskan bahwa hak beragama yang termuat dalam Pasal 29 dan Pasal 28E UUD 1945 bersifat non derogable rights, artinya tidak dapat dikurangi apalagi dihilangkan.
Konsep hak beragama, tuturnya, adalah hak untuk memeluk agama dan kepercayaan dan menjalankan ajaran agama secara merdeka. Secara eksplisit hak itu melindungi eksistensi ajaran agama dan eksistensi pemeluk agama.
Di dalam konteks keberagamaan, eksistensi pemeluk agama diletakkan pada ketaatannya dalam menjalankan ajaran agama dan implementasi ajaran agamanya dalam kehidupan sehari-hari.
Ketaatan menjalankan agama dalam konteks bernegara melahirkan kewajiban negara untuk melindungi kemerdekaan seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya. Dalam hal ini, berjilbab bagi seorang muslim adalah identitas keberagamaan yang harus dilindungi oleh negara.
“Aturan anggota paskibraka lepas jilbab atau melarang praktek berjilbab seorang muslim berarti mencederai hak asasinya dan lebih jauh adalah bentuk pelanggaran konstitusional warga negara,” jelasnya.
Aturan paskibraka lepas jilbab tidak semata pelanggaran terhadap prinsip kebebasan beragama, tetapi juga pelanggaran terhadap hak warga negara untuk berpartisipasi dalam pemerintahan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945.
Kepesertaan dalam paskibraka adalah bentuk partisipasi dalam urusan pemerintahan. Setiap warga negara yang memenuhi syarat untuk terlibat harus dijamin keterlibatannya.
Mengganti petugas adalah kesalahan
“Menyelesaikan permasalahan dengan mengganti petugas paskibraka lepas jilbab dengan alasan menyesuaikan regulasi adalah kesalahan besar,” jelas ketua Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) Umsida itu.
Hal tersebut akan menghadirkan tradisi buruk ke depan bagi Indonesia sebagai negara yang multikultural. Sudah selazimnya pasukan paskibraka merepresentasikan keragaman yang mengindahkan indonesia.
Penulis Rifqi Ridlo Phahlevy Editor Teguh Imami