L.ya Esty Pratiwi (Foto: PWMU.CO)
L.ya Esty Pratiwi – Dosen Fakultas Hukum UMSurabaya/APIMU Surabaya
PWMU.CO – Radikalisme adalah sebuah ideologi atau paham yang biasanya menginginkan perubahan besar atau total dalam struktur politik, sosial, atau ekonomi (Ludigdo & Mashuri, 2021). Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham radikal. Radikalisme sering dimaknai sebagai ‘paham atau aliran yang radikal dalam politik’ atau ‘paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis,’ bisa juga ‘sikap ekstrem dalam aliran politik’. Istilah radikalisme seringkali dikaitkan dengan pemahaman yang keras dan mengandung kekerasan yang mengatasnamakan agama. Faktor ideologi merupakan penyebab munculnya radikalisme, namun ada faktor lain yang mempengaruhi seperti faktor politik, kondisi sosial, dan lingkungan.
Pembakaran Polres Dharmasraya yang terjadi pada 12 November 2017, yang dilakukan oleh dua pemuda dari Kabupaten Merangin, Jambi, menyoroti betapa seriusnya ancaman radikalisme di Bungo. Insiden tersebut yang diidentifikasi sebagai serangan teroris menegaskan bahwa paham radikalisme dapat berujung pada tindakan ekstrem yang merugikan (Pembakaran Polres Dharmasraya, Sumatera Barat, disebut “serangan teroris,” 2019). Kedua pelaku menuliskan pesan jihad yang menggambarkan paham ekstremisme mereka yang berasal dari radikalisme agama, yang mereka pahami dari ayat-ayat tertentu dalam Al-Qur’an (Santoso, 2019). Pemahaman yang sempit dan salah terhadap ayat-ayat tersebut menyebabkan mereka melakukan kekerasan untuk mempertahankan ideologi mereka (Maimun & Darwadi, 2021).
Muhammadiyah tentunya tidak ingin para anggotanya terpapar paham radikalisme yang berujung pada ekstremisme, sehingga mereka aktif melakukan hal-hal yang menentang norma agama dan budaya. Hal ini karena paham radikalisme bertentangan dengan prinsip-prinsip yang ada dalam gerakan Jama’ah Tabligh dan Muhammadiyah. Wawancara dengan Mansub Ghozali, salah satu pimpinan Muhammadiyah Kabupaten Bungo, mengungkapkan bahwa kedua pelaku pembakar Polsek Dharmasraya aktif mengikuti kegiatan pengajian rutin di Masjid At-Taqwa beberapa bulan sebelum kejadian pembakaran (Wawancara dengan Mansub Ghozali, 19 Agustus 2019). Hal ini menyebabkan isu negatif bahwa kajian Muhammadiyah di Masjid At-Taqwa Kabupaten Bungo mengajarkan paham radikalisme yang berujung pada teror.
Strategi Muhammadiyah dalam mencegah penyebaran radikalisme di kalangan pemuda merupakan suatu upaya yang sangat strategis dan berkelanjutan dalam menjaga keamanan dan kesatuan masyarakat. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, telah mengembangkan metode istinbath hukum yang berdiri di jalan tengah, mengawinkan tradisi dan inovasi. Dalam konteks ini, strategi Muhammadiyah dalam mencegah radikalisme meliputi beberapa aspek penting.
Pertama, Muhammadiyah telah melakukan pendidikan yang moderat dan konsisten dari pusat hingga daerah. Pendidikan ini tidak hanya berfokus pada pengajaran agama Islam, tetapi juga pada pengembangan karakter yang kuat dan toleransi.
Kedua, Muhammadiyah telah mengelola tempat ibadah dan masjid dengan menyaring konten ceramah dan penceramah. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa pesan-pesan yang disampaikan tidak mengandung unsur-unsur radikalisme. Selain itu, Muhammadiyah juga melakukan screening ketat terhadap penceramah untuk memastikan bahwa mereka tidak mengembangkan ideologi ekstrem.
Ketiga, Muhammadiyah menempatkan tajdid secara proporsional, yaitu mengawinkan semangat modernitas Barat dan tradisionalitas Timur. Hal ini juga membantu dalam mengantisipasi ekstremisme dengan moderasi, sehingga mencegah penyebaran radikalisme di kalangan pemuda.
Jihad Muhammadiyah melawan Radikalisme
Radikalisasi yang terjadi di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir menjadi perhatian serius bagi banyak pihak, termasuk Muhammadiyah. Muhammadiyah berupaya untuk memberikan respon yang konstruktif terhadap fenomena tersebut. Muhammadiyah berkomitmen untuk mengedepankan dialog dan toleransi dalam menghadapi berbagai isu yang berkaitan dengan radikalisme.
Radikalisme keagamaan ini tidak hanya mengancam stabilitas nasional tetapi juga merusak tatanan sosial yang didasarkan pada pluralisme dan toleransi. Paham ini tumbuh subur di tengah ketidakpuasan sosial, ekonomi, dan politik, serta didorong oleh interpretasi sempit terhadap ajaran agama. Radikalisme cenderung mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan mendorong pemahaman agama yang eksklusif, yang menolak dialog dan keberagaman.
Pendidikan menjadi salah satu elemen kunci dalam strategi Muhammadiyah untuk mencegah penyebaran paham radikal. Muhammadiyah memiliki jaringan pendidikan yang luas, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Melalui lembaga-lembaga pendidikan ini, Muhammadiyah berusaha menanamkan nilai-nilai Islam moderat yang menjunjung tinggi toleransi, dialog, dan penghargaan terhadap keberagaman.
Pendidikan agama yang diajarkan Muhammadiyah menghindari pendekatan literalistik terhadap teks-teks suci, dan sebaliknya, mendorong pemahaman yang kontekstual dan humanistik. Dengan cara ini, Muhammadiyah berusaha untuk membentuk generasi muda yang tidak hanya taat beragama tetapi juga kritis dan terbuka terhadap perbedaan.
Penguatan kebijakan organisasi juga menjadi bagian integral dari strategi Muhammadiyah dalam menghadapi radikalisme. Dalam merumuskan kebijakan terkait pencegahan radikalisme, Muhammadiyah seringkali melakukan kajian mendalam terhadap berbagai fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Dalam penguatan kebijakan organisasi, Muhammadiyah juga menekankan pentingnya kaderisasi yang berkualitas. Kaderisasi ini dilakukan dengan tujuan mencetak generasi penerus yang memiliki pemahaman agama yang moderat dan komitmen yang tinggi terhadap nilai-nilai kebangsaan.
Muhammadiyah percaya bahwa dengan kaderisasi yang baik, organisasi akan memiliki sumber daya manusia yang mumpuni untuk menjalankan berbagai program pencegahan radikalisme. Kader-kader Muhammadiyah dididik untuk menjadi pemimpin yang tidak hanya paham agama tetapi juga memiliki wawasan sosial dan politik yang luas. Mereka diharapkan mampu menjadi agen perubahan yang membawa semangat moderasi dan kemajuan dalam masyarakat.
Strategi Muhammadiyah dalam mencegah radikalisme tidak hanya dilakukan di tingkat nasional tetapi juga di tingkat internasional. Muhammadiyah sering kali berpartisipasi dalam forum-forum internasional yang membahas isu-isu keagamaan, perdamaian, dan radikalisme. Melalui partisipasi ini, Muhammadiyah berusaha untuk memperkuat jejaring global dalam memerangi radikalisme dan terorisme. Di tengah tantangan yang semakin kompleks, Muhammadiyah juga menghadapi beberapa hambatan dalam melaksanakan strateginya.
Salah satu tantangan utama adalah meningkatnya radikalisme digital. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, terutama media sosial, telah memberikan ruang bagi kelompok-kelompok radikal untuk menyebarkan paham mereka dengan lebih cepat dan luas. Muhammadiyah perlu memperkuat kehadirannya di dunia digital dengan memanfaatkan teknologi informasi untuk menyebarkan pesan-pesan moderasi dan perdamaian. Pendekatan digital ini juga penting untuk menjangkau generasi muda yang merupakan kelompok yang paling rentan terpapar oleh paham radikal.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, Muhammadiyah perlu memperkuat sinergi dengan berbagai pihak, termasuk pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan akademisi. Kolaborasi yang baik akan meningkatkan efektivitas dalam menangani isu radikalisme secara menyeluruh. Selain itu, Muhammadiyah juga perlu lebih aktif dalam melibatkan media untuk menyebarkan narasi positif tentang Islam moderat dan peran Muhammadiyah dalam menjaga stabilitas sosial.
Editor Teguh Imami