Oleh Dedy Stansyah – Dosen Fakultas Hukum UM Surabaya / ALB Notaris/PPAT
PWMU.CO – Era digitalisasi yang semakin berkembang, banyak bidang kehidupan mengalami perubahan besar, termasuk dunia hukum. Dengan perkembangan yang sangat pesat tersebut, memunculkan sebuah inovasi terbaru dalam menjawab tantangan modernisasi bidang administrasi dan hukum.
Inovasi tersebut adalah e-meterai. E-meterai adalah solusi untuk kebutuhan akan sistem administrasi yang lebih canggih dan efektif. Pemerintah Indonesia kemudian menetapkan peraturan yang mengatur penggunaan e-meterai yakni dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai. Peraturan ini membuat e-meterai menjadi pilihan yang lebih mudah digunakan daripada meterai tempel.
Penggunaan e-meterai ataupun meterai tempel kadang masih disalahartikan oleh masyarakat umum. Kurangnya edukasi terkait penggunaan e-meterai maupun meterai tempel pada sebuah dokumen masih dirasa kurang tepat.
Karena tidak semua dokumen wajib menggunakan meterai, apalagi sampai menganggap sebuah dokumen tidak sah dikarenakan tidak memakai meterai. Jika diartikan meterai sesungguhnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan bahwa bea meterai adalah pajak atas dokumen.
Sedangkan dokumen sendiri adalah sesuatu yang ditulis atau tulisan, dalam bentuk tulisan tangan, cetakan, atau elektronik, yangdapat dipakai sebagai alat bukti atau keterangan.
Kesalahan yang sering terjadi pada masyarakat umum terkait meterai ini adalah menganggap tidak sahnya suatu perjanjian apabila tidak memakai meterai atau dokumen lainnya. apabila kita melihat dalam syarat sahnya suatu perjanjian menurut Burgerlijk wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) pasal 1320 bahwa syarat sahnya suatu perjanjian ada 4 yakni:
- Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
- Suatu pokok persoalan tertentu
- Suatu sebab yang tidak terlarang
Meterai bukanlah salah satu syarat sahnya suatu perjanjian menurut Burgerlijk Wetboek. Artinya, perjanjian tetap sah meskipun tidak dibubuhi meterai. Meskipun tidak menjadi syarat sah perjanjian, meterai memiliki fungsi penting dalam konteks KUHPerdata, yaitu sebagai:
- Alat Bukti: Meterai berfungsi sebagai bukti otentik bahwa suatu perjanjian telah dibuat. Dengan adanya meterai, perjanjian tersebut lebih kuat kedudukannya sebagai alat bukti di pengadilan.
- Penegasan Kesungguhan: Pembubuhan meterai dapat dianggap sebagai penegasan kesungguhan para pihak dalam membuat perjanjian.
Meterai memiliki peran penting sebagai alat bukti dan penegasan kesungguhan dalam suatu perjanjian. Meskipun demikian, penting untuk diingat bahwa keberadaan atau tidaknya meterai tidak serta-merta membatalkan sahnya suatu perjanjian jika syarat-syarat sah perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) telah terpenuhi.
Di lain sisi dalam UU No.10 Tahun 2020 pasal 3 ayat (2) menjelaskan beberapa dokumen yang terkena bea meterai, sebagai berikut:
- Surat perjanjian, surat keterangan, surat pernyataan, atau surat lainnya yang sejenis, beserta rangkapnya;
- Akta notaris beserta grosse, salinan, dan kutipannya;
- Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah beserta salinan dan kutipannya;
- Surat berharga dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
- Dokumen transaksi surat berharga, termasuk Dokumen transaksi kontrak berjangka, dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
- Dokumen lelang yang berupa kutipan risalah lelang, minuta risalah lelang, salinan risalah lelang, dan grosse risalah lelang;
- Dokumen yang menyatakan jumlah uang dengan nilai nominal lebih dari Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) yang:
- Menyebutkan penerimaan uang; atau
- Berisi pengakuan bahwa utang seluruhnya atau sebagainya telah dilunasi atau diperhitungkan.
- Dokumen lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Sedangkan dalam pasal 7 dijelaskan juga dokumen yang tidak dikenakan bea meterai, yakni:
- Dokumen yang terkait lalu lintas orang dan barang:
- surat penyimpanan barang; konosemen; surat angkutan penumpang dan barang; bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang; surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; dan
- surat lainnya yang dapat dipersamakan dengan surat sebagaimana dimaksud pada angka 1 sampai dengan angka 5;
- Segala bentuk ljazah;
- Tanda terima pembayaran gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang berkaitan dengan hubungan kerja, serta surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran dimaksud;
- Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk oleh negara berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan ;
- Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu yang berasal dari kas negara, kas pemerintahan daerah, bank, dan lembaga lainnya yang ditunjuk berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
- Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
- Dokumen yang menyebutkan simpanan uang atau surat berharga, pembayaran uang simpanan kepada penyimpan oleh bank, koperasi, dan badan lainnya yang menyelenggarakan penyimpanan uang, atau pengeluaran surat berharga oleh kustodian kepada nasabah;
- surat gadai;
- Tanda pembagian keuntungan, bunga, atau imbal hasil dari surat berharga, dengan nama dan dalam bentuk apa pun; dan
- Dokumen yang diterbitkan atau dihasilkan oleh Bank Indonesia dalam rangka pelaksanaan kebijakan moneter. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah