Oleh: Anang Dony Irawan – Wakil Ketua PCM Sambikerep, Dosen Universitas Muhammadiyah Surabaya, Penikmat Sejarah
PWMU.CO – Bulan September sudah menjadi ingatan kolektif masyarakat akan tertuju pada Pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia sebanyak dua kali, setelah Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya. Yaitu tanggal 18-19 September 1948 di Madiun dengan tokoh utamanya Muso dan 30 September 1965 di Jakarta dengan tokoh utamanya D.N. Aidit.
Terkait adanya gerakan pemberontakan PKI pada 30 September 1965 yang kemudian berimbas pada Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Presiden Sukarno melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXXIII/MPRS/1967 pada 12 Maret 1967. Ketetapan MPRS tersebut merupakan rangkaian dari ketetapan-ketetapan MPRS yang dikeluarkan terkait adanya kemelut di seputaran peristiwa Gerakan 30 September (G30S) di tahun 1965. Partai Komunis Indonesia (PKI) dicap sebagai pihak yang sangat dicurigai sebagai dalang dari tragedi pemberontakan yang menewaskan sejumlah Jenderal dan perwira Angkatan Darat.
Sebagaimana disebutkan dalam TAP MPRS tersebut bahwa Presiden Sukarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G.30.S/PKI. Namun pada Senin, 9 September 2024 menjadi sejarah baru akan dicabutnya TAP MPRS tersebut. Hal itu dilakukan dengan penyerahan surat resmi Pimpinan MPR tentang tidak berlakunya TAP MPR tersebut oleh Ketua MPR RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) kepada pihak keluarga Bung Karno.
Kalau kita membaca Pasal 6 angka 30 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 1960 Sampai Dengan Tahun 2002 telah memberikan kejelasan atas status TAP MPRS XXXIII/1967, yaitu ketetapan yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan.
Dengan berdasar TAP MPR I/MPR/2003 sebenarnya Pimpinan MPR tidak lagi memerlukan adanya surat resmi atas pencabutan TAP MPRS XXXIII/1967. Karena sudah cukup kuat dan jelas bagaimana status ketetapan MPRS dimaksud. Apalagi pada Tahun 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melalui Keputusan Presiden Nomor 83/TK/Tahun 2012 telah menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada almarhum Dr. (H.C.) Ir. Sukarno.
Namun kalau dengan adanya TAP MPR I/MPR/2003 dianggap masih menyisakan persoalan yang bersifat psikologis dan politis yang harus dituntaskan oleh Pimpinan MPR karena tidak pernah dibuktikan menurut hukum dan keadilan, serta telah bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum sesuai ketentuan pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945tentunya hal tersebut tidak terlalu mengena di masyarakat.
Mengapa demikian? Stigma yang sudah terbangun di masyarakat tidak terlalu terfokus akan bagaimana peran Presiden Sukarno saat itu, masyarakat kita lebih melihat bagaimana penanganan setelah adanya pemberontakan G30S saat itu.
Presiden Sukarno dengan sigap mengeluarkan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang lebih dikenal sebutan Supersemar dengan menugaskan Letjen Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.
Bahkan Bung Karno dalam kesempatan memimpin Sidang Paripurna Kabinet Dwikora mengatakan ada Dubes dari negara tertentu telah menghubungi Dubes AS di Indonesia waktu itu, Marshell Green, telah gembira mendengar bahwa Presiden Sukarno mengutuk G30S.
Tidak hanya dengan keluarnya Surat Pimpinan MPR terhadap pencabutan TAP MPRS XXXIII/1967 saja, karena banyak tulisan-tulisan yang tersebar di masyarakat telah memberikan gambaran bagaimana peran Presiden Sukarno saat itu secara tidak langsung setuju terhadap G30S/PKI.
Apalagi Presiden Sukarno, Soegiarso Soerojo dalam bukunya juga menuliskan, bahwa Presiden Sukarno berkeras tak mau membubarkan PKI yang telah berkhianat. Beda sikap saat Presiden Sukarno ketika sekembalinya dari Tokyo pada 17 Agustus 1961, ia sanggup membubarkan Masyumi, PSI, Liga Demokrasi, Rotary Club, dan Kepanduan karena menolak konsep kabinet kaki empat (Masyumi, PNI, PKI, dan NU) yang kemudian dikenal dengan NASAKOM.
Dengan Pimpinan MPR telah memilih berkomitmen ingin memulihkan nama baik Presiden Sukarno atas ketidakpastian hukum yang telah terjadi selama ini yang diakibatkan penafsiran atas Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967. Namun Surat Pimpinan MPR itu tidaklah memiliki kekuatan hukum sebagaimana Ketetapan MPR I/MPR/2003 yang telah lebih dulu dikeluarkan. Hal ini mengacu pada hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara kita.
Tujuannya agar tidak terjadi kerancuan dalam penerapan peraturan/hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya bagi generasi muda agar tahu bagaimana perjalanan suatu bangsa dengan sejarah perjuangannya dan penerapan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara ini.
Generasi muda bangsa ini perlu diberikan pencerahan yang utuh terhadap sejarah terkait G30S/PKI dan peraturan yang terbit setelahnya. Jangan sampai pemberontakan yang telah dilakukan oleh PKI terhadap bangsa ini justru menjadi dongeng yang meninabobokan mereka, termasuk sederet peraturan-peraturan yang dikeluarkan setelah pemberontakan G30S tersebut. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah