Oleh : Moh. Ridho Ilahi Robbi (Opini ini merupakan tulisan yang diikutkan sayembara APIMU)
PWMU.CO – Perayaan Maulid Nabi, adalah suatu ritual yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad Saw. Perayaan ini adalah momen penting dalam kalender Islam.
Namun, dalam konteks ekonomi, beberapa pihak berpendapat bahwa fokus pada perayaan ini mungkin tidak selalu sejalan dengan kebutuhan mendesak umat Muslim, terutama dalam hal pengentasan kemiskinan dan peningkatan pendidikan.
Dari sudut pandang ekonomi, perayaan Maulid Nabi sering kali memerlukan anggaran yang tidak sedikit (bahkan bisa mencapai ratusan juta). Pengeluaran untuk perayaan ini termasuk biaya dekorasi, makanan, dan hiburan yang sering kali dikeluarkan oleh individu dan komunitas.
Sementara itu, banyak umat muslim masih menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan dan pendidikan. Menurut data statistik, kemiskinan dan kurangnya akses pendidikan masih menjadi masalah signifikan di berbagai negara dengan mayoritas Muslim.
Di Indonesia sendiri kemiskinan menjadi permasalahan yang serius, ditambah lagi akses pendidikan yang bisa dibilang cukup eksklusif. Hal ini seharusnya menjadi suatu permasalahan yang harus dipikirkan oleh umat muslim secara keseluruhan.
Sayangnya, dengan adanya permasalahan ini tidak membuat umat muslim tergerak untuk membuat suatu gerakan yang efektif untuk mengatasi permasalahan ini, umat muslim kebanyakan hanya berfokus untuk mengadakan acara yang sifatnya seremonial seperti perayaan maulid nabi.
Dalam perayaan maulid nabi, kita sering melihat acara yang spektakuler dan megah. Tak jarang perayaan Maulid Nabi juga menjadi tolak ukur dari tingkat sosial masyarakat tertentu. Saya tidak menyalahkan hal yang demikian, namun kita juga perlu sadar bahwa dari sekian banyaknya masyarakat yang hadir pastinya akan ada masyarakat yang datang ke sana setelah acara hanya untuk mengambil botol ataupun sampah untuk mereka jual demi memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Saya hanya berpikir apakah perayaan seperti ini membuat Rasulullah senang atau justru sebaliknya.
Saya tidak sedang mencoba untuk mempermasalahkan perayaan Maulid Nabi. Hanya saja perlu diperhatikan oleh kita bersama bahwa junjungan kita, yakni Nabi Muhammad Saw dalam sejarahnya tidak pernah merayakan sesuatu yang berlebihan.
Bahkan dalam kehidupan sehari-hari Rasulullah pasti memikirkan nasib fakir miskin, pastinya Rasulullah tidak akan senang jika perayaan hari kelahirannya yang spektakuler sedangkan umatnya masih banyak yang kelaparan dan tidak bisa mengakses pendidikan.
Alokasi dana yang segitu banyaknya seperti kurang efektif jika hanya dipusatkan untuk perayaan yang bersifat seremonial dan tidak memiliki dampak signifikan untuk umat Islam.
Para kritikus juga berpendapat bahwa alokasi dana untuk perayaan Maulid Nabi bisa lebih produktif jika digunakan untuk program-program sosial yang langsung menyentuh kebutuhan mendasar masyarakat.
Misalnya, dana yang biasanya dikeluarkan untuk acara perayaan bisa dialihkan untuk mendukung program pemberdayaan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Ini akan membantu mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kualitas hidup umat muslim secara langsung.
Namun, ada juga masyarakat yang menyatakan bahwa perayaan Maulid Nabi memiliki nilai moral dan sosial yang penting. Perayaan ini bisa menjadi kesempatan untuk meningkatkan solidaritas komunitas, memperkuat ikatan sosial, dan menyebarkan pesan kebaikan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Dalam konteks ini, nilai-nilai spiritual dan sosial dari perayaan bisa memiliki dampak positif, meski tidak secara langsung bisa mengatasi masalah ekonomi.
Tetapi, pertanyaan mendasarnya adalah, apakah perayaan Maulid Nabi seharusnya menjadi prioritas utama jika dibandingkan dengan kebutuhan mendesak masyarakat? Apakah mungkin ada cara untuk menyeimbangkan antara merayakan peristiwa religius dan menangani isu-isu ekonomi yang mendesak?
Penting untuk mempertimbangkan bahwa meskipun perayaan keagamaan seperti Maulid Nabi memiliki tempat dalam kehidupan umat Muslim, penyelesaian masalah ekonomi memerlukan tindakan yang lebih terfokus dan terencana.
Oleh karena itu, masyarakat dan organisasi keagamaan bisa mencari cara untuk mengintegrasikan nilai-nilai spiritual dengan tanggung jawab sosial yang lebih besar. Ini mungkin melibatkan perayaan yang lebih sederhana namun dengan penekanan pada kontribusi nyata untuk kesejahteraan masyarakat.
Bukankah Rasulullah pernah bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yakni: “Seorang muslim dengan muslim lainnya itu seperti bangunan, saling menguatkan satu dengan lainnya”. Seharusnya dari hadist ini mengisyaratkan kita bahwa kita harus pula memikirkan saudara kita sesama muslim.
Secara keseluruhan, menyelaraskan antara perayaan keagamaan dan pengentasan masalah ekonomi adalah tantangan yang memerlukan refleksi mendalam. Dengan memahami dua perspektif ini, umat Muslim dapat lebih bijaksana dalam merencanakan perayaan yang tidak hanya menghormati nilai-nilai agama tetapi juga berkontribusi pada perbaikan kondisi ekonomi masyarakat. (*)
Editor Wildan Nanda Rahmatullah