PWMU.CO – “Saya bahagia kalau ada pihak lain merongrong Muhammadiyah,” tutur Nadjib Hamid dalam ceramahnya di kantor Pimpinan Ranting Istimewa Muhammadiyah (PRIM) Kampung Baru, Malaysia (1/10/2017). “Kalau Muhammadiyah tidak dirongrong, tidak menarik dan biasanya lama majunya.”
Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim itu kemudian mengutip kisah KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, ketika pertama kali berdakwah ke Banyuwangi. Sepulang dari Kota Kopi itu, Kiai Dahlan menerima surat kaleng. Di antara isinya, apabila Kiai Dahlan berani datang lagi ke Banyuwangi, beliau akan pulang tinggal nama.
(Baca: PCIM Malaysia, Satu-satunya Cabang Istimewa yang Miliki Ranting)
Diancam begitu, Kiai Dahlan tidak gentar. Justru semangat beliau untuk datang dan mengenalkan Muhammadiyah ke Banyuwangi semakin membara. Kiai Dahlan, bahkan, mengajak serta istri beliau, Nyai Siti Walidah, untuk mendampingi.
Bagi Kiai Dahlan, yang suka mengancam, itu menandakan dirinya tidak berani, alias penakut. Pemberani pasti tidak banyak omong. Dalam kajian psikologi, seorang pengecut itu umumnya kerap menutupi ketakutan dengan omong besar. Persis seperti pribadi lemah yang sering berlagak kuat dengan gertak sambal.
Lebih lanjut Nadjib mengisahkan bahwa ketika beliau turun dari kereta di Banyuwangi, beberapa orang polisi datang menghampiri dan memintanya untuk kembali ke Yogyakarta, dengan alasan ada segerombolan orang yang mau membunuh Pak Yai Dahlan.
(Baca: Pesan Pengukuhan untuk Komunitas Muhammadiyah Tertua di Malaysia)
“Pak polisi ini aneh, saya yang mau mengajak kebaikan disuruh pulang. Tapi mereka yang mau membunuh saya kok dibiarkan,” tanya pak Dahlan kepada polisi. “Mendapat pertanyaan seperti itu, polisi mati gaya. Mati langkah. Akhirnya membiarkan pak Dahlan terus berdakwah, sehingga yang mengancampun masuk Muhammadiyah,” terang Nadjib.
Tantangan seperti itu, lanjut Nadjib, terulang seabad kemudian. “Belakangan ini kerap ada pengajian yang dibubarkan oleh sekelompok orang yang mengaku anggota Ormas paling toleran. Dan, aparat keamanan selalu memihak pada mereka yang membubarkan dengan alasan tidak ingin ada korban yang lebih besar.”
Kisah di atas mirip yang dialami Rasulullah di awal dakwah Islam. Tantangan yang dihadapi Rasul akhir zaman itu sungguh tidak ringan. Di tengah pembesar kafir yang menolak Islam, nyawa beliau menjadi taruhan. Namun, segala tantangan, bahkan ancaman nyawa, tidak membuat Rasulullah mundur. Beliau semakin merangsek.
(Baca juga: Majelis Agama Islam Thailand Kagum pada Gerakan Muhammadiyah)
Dalam sebuah riwayat populer, setelah kehabisan akal menjegal langkah Rasulullah, kaum kafir Quraisy Makkah mendatangi Abu Thalib, paman yang mengasuh Rasulullah sejak kecil. Mereka meminta Abu Thalib supaya menghentikan dakwah keponakannya itu.
“Kau adalah orang paling tua, terhormat, berkedudukan di tengah kami, dan seorang pemimpin Quraisy,” kata dedengkot kafir Makkah. “Tolong hentikan anak saudaramu itu. Suruh agar Muhammad menghentikan dakwahnya. Kalau tidak, kami akan membunuhnya.”
Selanjutnya Baca Hal 2
Begitu sayang kepada keponakannya, Abu Thalib gentar juga. “Muhammad, kau tahu aku sangat mencintaimu seperti anakku sendiri,” tutur Abu Thalib. “Sesungguhnya para pembesar Quraisy datang menemuiku. Mereka mengatakan begini dan begitu kepadaku. Muhammad, janganlah kau membebaniku dengan urusan yang tak sanggup kuatasi. Aku meminta padamu agar kau berhenti berdakwah. Jangan lagi kau sebarkan Islam ini.”
Berjatuhan air mata Rasulullah. Namun, beliau kemudian berkata dengan kalimat yang agung, “Wahai, pamanku. Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku menghentikan dakwah ini, niscaya aku tidak akan menghentikan dakwah ini hingga Allah memenangkannya atau aku binasa.”
(Baca juga: Majelis Agama Islam Thailand Kagum pada Gerakan Muhammadiyah)
Jawaban tegas tanpa bisa ditawar itulah yang menggemakan Islam hingga hari ini. Tantangan dan ancaman, dengan demikian, terbukti semakin melejitkan kita. Kesulitan menjadikan kita tahan banting. Karena itu, hidup tanpa masalah adalah hampa. Indahnya hidup dan kehidupan justru ketika kita mendayung sampan di antara lautan suka dan duka.
Pernah saya tinggal di lingkungan yang begitu metenteng dengan pendapat fikih kelompoknya. Kendati tidak diucapkan secara jelas, namun fikih golongan lain seolah lemah dan salah. Tata cara shalat pun harus mengikuti atau sesuai dengan pendapat imamnya. Kata mereka, tidak perlu berdebat secara fikih. Pendapat imam mereka itulah yang sesuai sunah.
(Baca: PCIM Malaysia, Satu-satunya Cabang Istimewa yang Miliki Ranting)
Di awal, pendapat-pendapat demikian sangat menggelisahkan saya. Namun, setelah itu dan hingga kini, saya malah bersyukur. Sebab, saya kemudian tertantang untuk membuka kembali kitab-kitab hadis dan fikih, utamanya menyangkut tata cara shalat. Saya ingin tahu lebih detail, benarkah tata cara shalat yang paling sahih adalah sebagaimana yang dikatakan itu.
Umpama tidak dipertemukan dengan kelompok semacam itu, boleh jadi, seumur hidup sekalipun, saya hanya menjalankan shalat sesuai tata cara yang selama ini saya tahu dan anut, tanpa melacak landasan hadis dan fikihnya. Jadi, benar kata Pak Nadjib Hamid, tantangan dan ancaman memang melejitkan.
Penulis: M. Husnaini, Mahasiswa S-3 di Malaysia, asal Lamongan