PWMU.CO – Kisah dan pengalaman Muhammad Subhan Setowara sebagai minoritas Muslim di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), membuatnya menjuarai Humanitarian Essay Competition 2017 atau lomba esai nasional bertema ‘Konflik dan Krisis Kemanusiaan’ yang diadakan oleh International Committee of the Red Cross (ICRC) bekerjasama dengan situs opini Qureta.
Peneliti Pusat Studi Agama dan Multikulturalisme (PUSAM) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini berhasil menyisihkan tujuh finalis lainnya yang merupakan hasil seleksi dari sekitar 350 peserta lomba se-Indonesia. Kompetisi berlangsung sepanjang 15 Agustus hingga 15 September yang ditutup dengan Malam Penghargaan pada 6 Oktober.
(Baca: Bupati Bojonegoro Suyoto Promosi Gelar Doktor di UMM)
Pada kompetisi ini, Subhan menulis esai berjudul “Ingin Belajar Toleransi? Jadilah Minoritas”. Sedangkan juara dua diraih Jessica Novia Layantara dengan esai berjudul “Pintu yang Terbuka” dan juara tiga diraih Gorba Dom dengan esai “Hak Asasi Manusia, Lingkungan, dan Etnis Rohingya”.
Kepala Delegasi ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste Cristoph Sutter mengaku bangga dengan banyaknya penulis muda Indonesia yang peduli pada persoalan konflik dan kemanusiaan. Hal itu menurutnya sejalan dengan misi ICRC.
“ICRC telah hadir di 80 negara membantu para korban konflik. Rasa peduli kita sangat penting karena itu membuat dunia lebih baik. Kalian generasi muda adalah para penerus yang ikut menentukan wajah dunia,” kata Sutter pada Malam Penghargaan Lomba Esai 6 Oktober 2017 di Executive Lounge Hotel Grandhika Iskandarsyah Jakarta.
(Baca juga: UMM Borong 4 Medali IIDEX 2017 di Malaysia)
Sementara itu Subhan saat ditemui Ahad (8/10) mengatakan, tragedi yang menimpa minoritas Muslim Rohingya merupakan inspirasi utamanya menulis esai ini. Subhan mengakui, menjadi minoritas adalah hal yang sungguh berat, tak boleh sembarangan menyuarakan aspirasi karena bisa-bisa akan berbenturan dengan kepentingan dan relasi kuasa kaum mayoritas.
“Saya ini lahir di Kupang, ibukota NTT yang merupakan provinsi dengan persentase populasi Muslim terendah di Indonesia dan satu-satunya yang di bawah dua digit, yaitu 9,05 persen. Saya juga pernah belajar di sekolah Kristen. Bagi saya, konflik dan ketegangan bisa terjadi karena mayoritas yang terlalu angkuh atau minoritas yang tak sadar diri,” kata alumni Muslim Exchange Program (MEP) Australia ini.
Sekalipun begitu, Subhan mengaku beruntung karena minoritas Muslim di Kupang bisa hidup dalam harmoni bersama penganut Kristen dan Katolik. Subhan mengatakan, kekerasan antar agama pada November 1998 telah mengajarkan mereka, tak ada yang menang dalam sebuah konflik. “Kalaupun menang, menang jadi arang kalah jadi abu,” ujarnya.
(Baca ini juga: UMM Gencar Kembangkan Energi Baru Terbarukan untuk Atasi Ketimpangan antara Produksi dan Konsumsi)
Subhan menuturkan, hancurnya masjid di kampung halamannya, Desa Oebufu, Kupang, pada 30 November 1998 masih terekam jelas dalam ingatan keluarganya. “Kejadian yang membuat kami harus mengungsi sementara waktu. Sekarang, 19 tahun setelah peristiwa itu terjadi, kami tidak lupa, tetapi tidak ada dendam. Kami belajar dan bertumbuh dari pengalaman itu,” kisahnya.
Subhan pun berharap, konflik di masa lalu yang melibatkan minoritas Muslim di Ambon, Poso, dan Tolikara menjadi pelajaran bagi bangsa untuk tak memberi ruang bagi prasangka dan intoleransi. Subhan juga menegaskan perlunya kehati-hatian, lantaran fenomena dan isu sensitif di tingkat nasional seperti gerakan anti-pemimpin non-Muslim, keinginan mendirikan negara khilafah, terorisme, hingga penggunaan term kafir secara salah kaprah, dapat berdampak pada kebencian terhadap minoritas Muslim di tingkat daerah.
“Melalui tulisan ini, saya hanya ingin mengajak umat Islam Indonesia yang terbiasa menjadi mayoritas, untuk sesekali, jika ada waktu, belajarlah menjadi minoritas. Dengan begitu, siapa tahu kita lebih menghargai indahnya damai dan harmoni dalam perbedaan,” pungkas aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) ini.
Karena dipandang sangat menarik dan inspiratif, tulisan Subhan ini rencananya akan diterjemahkan pihak ICRC melalui Jessica Sallabank, penulis internasional untuk isu-isu kemanusiaan, khususnya di Asia Tenggara. ICRC berharap esai Subhan dapat dibaca secara luas oleh kalangan internasional.(hum/aan)
Discussion about this post