Oleh Emha Ainun Nadjib
PWMU.CO – Aku tidak pernah beranggapan bahwa ada orang, terutama di zaman sangat modern ini, yang butuh dinasihati, diceramahi, dikasih pengajian, atau minta pencerahan. Tetapi kalau kebetulan ada yang berlaku seperti itu kepadaku, aku menjawab, “Aku tak punya apa-apa yang kau perlukan. Tapi mungkin kalimat Tuhan ini ada gunanya buatmu: Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.
Dahsyat informasi itu: “Tiadalah Engkau ciptakan ini dengan sia-sia”. Maka kata-kata anakku tentang Dmitry Itskov, sangat menggangguku. Meskipun aslinya ia bukan siapa-siapa bagiku, apalagi aku baginya.
BACA Gelitik Cak Nun tentang Pancasila dan Jalan Tol Menuju Surga
Ada yang lantas merespons dengan pertanyaan: “Tuhan itu ada beneran, po?”. Kujawab: “Sebagai orang yang sudah tua, kupilihkan jawaban begini: Mending kamu pilih percaya ada Tuhan saja. Kalau ternyata nggak ada, kau tak mendapat masalah apa-apa. Tapi kalau ternyata ada, kamu sudah lebih siap…”
Kalau memungkinkan, kutambahkan ini: “Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya pula, dan tidak jatuh sebutir biji-pun dalam kegelapan bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata, yakni Lauh Mahfudz”
Aku sangat merasa asik dengan pernyataan Allah “Tidak ada yang mengetahui yang ghaib kecuali Dia sendiri”. Aku hidup di jagat raya ghaib. Tak ada sesuatu hal yang sungguh-sungguh aku mengerti. Di hadapan Tuhan aku merasa aman berbekal ketidakpahaman, sebab tak ada risiko hukum bagi yang tidak paham.
Itu tidak hanya menyangkut kenapa aku dipaksa menjadi orang Jawa. Tanpa tawar-menawar dijadikan putra Ibu-Bapakku. Tidak dikasih tahu berapa jatah detak jantungku. Kenapa pertumbuhan sel-selku dihentikan pada tinggi badan sekian. Meskipun aku bersyukur bagian tertentu dari jasadku dihentikan pertumbuhannya oleh Allah.
BACA JUGA Gelitik Cak Nun tentang Pancasila dan Jalan Tol Menuju Surga
Bayangkan kalau kelaminmu dibiarkan terus bertumbuh, memuai dan memanjang. Sampai satu meter saja sudah susah bukan main. Bagaimana kalau satu kilometer. Bayangkanlah teknologi dan tata budaya yang kau perlukan dan kau repotkan di lingkunganmu.
Aku bahkan merasa hampir selalu ditakdirkan oleh Tuhan untuk banyak berada di tengah sesuatu yang tidak kupahami. Misalnya Tuhan kasih aku hobi senang tidur di kuburan, tetapi pada saat yang sama aku sangat takut kepada hantu. Banyak hal lainnya yang aku mengalami dilema antara hobi dengan kondisi mentalku. Pada suatu Subuh di tahun 1965 aku dibisiki Bapakku agar merapikan kuburan liar di dekat Pohon Keningar di loré omah dusunku.
Antara bergairah dan takut aku datangi tempat itu sendirian. Memang ada keadaan tanah seperti barusan digali kemudian ditutupi kembali. Aku menggali tanah di sampingnya lebih dalam, sesuai dengan perintah Bapakku. Kemudian kupindahkan jenazah itu ke lubang yang kugali. Aku menshalatkannya, kemudian pulang untuk sarapan pagi menjelang pergi sekolah.
Sampai hari ini aku tidak tahu itu jenazah siapa. Memang sedang ada ribut-ribut soal PKI, tapi aku tidak tahu itu jenazah orang PKI atau yang dibunuh oleh PKI. Gara-gara pengalaman di bawah Keningar ini aku menjadi mulai tidak terlalu takut kepada hantu. Sebelumnya yang paling kucemaskan adalah ketemu anjing berkepala orang. Ketemu orang tidak berwajah kecuali daging dan kulit rata saja. Kalau sekadar ketemu “Glundhung Pringis” malah kuajak main. Kami anak-anak desa bahkan sering main dengan “Jailangkung”.
Tetapi kalau ketemu “Banaspati” bisa pingsan aku. Atau “kemamang” yang bisa mengancam nyawaku. Meskipun kelak kuhibur diriku dengan pengetahuan dari Guruku bahwa itu bukan hantu melainkan peristiwa “fluoresensi” atau entah apa nama tepatnya.
BACA JUGA Cak Nun soal Budaya Politik Nasional: Pilih Celana atau Makanan; Korupsi atau Rasa Malu?
Karena di masa kanak-kanak kuburan adalah salah satu habitat utamaku, lama-lama aku terpengaruh oleh perilakunya. Dan di masa dewasa ternyata aku sendiri menjadi semacam hantu. Di mana-mana tiap hari ratusan orang bawa botol air minta kutiup untuk “tombo” ketenangan hati, istrinya mohon hamil, Ibu sakit tumor, keluarga bentrok terus dan lain-lain. Aku diperlakukan sebagai Dukun, tanpa aku mengerti apa-apa tentang itu semua. Aku tidak pernah tega untuk menolak “nyuwuk”. Kuhibur diriku dengan berpikir pasti Tuhan yang menyuruh mereka kepadaku, sehingga Tuhan juga yang bertanggung jawab dan mem-follow up-i prosesnya.
Tuhan menyorongku ke wilayah dan fungsi-fungsi yang aku sebenarnya hanya “kambing congèk” belaka. Disuruh ceramah seperti Ekspert Intelektual, padahal jelas SMA saja lulusan darurat. Disuruh jadi seniman, padahal setiap habis berkarya kukutuk sendiri hasilku. Disuruh jadi semacam Ulama, Kiai, Ustadz atau apapun, 6-8 jam sekali pertemuan, 10-15 kali sebulan. Nanti mereka mengejekku: “Di mana Kiai dadakan itu belajar Agama? Emang pernah lihat Kitab Kuning? Apa menguasai Bahasa Arab? Pernah di Pesantren hanya belajar “Mahfudlat” alias kata-kata mutiara, kemudian diusir. Nasabnya dia turunan siapa? Nambi, Layang Seto Layang Kumitir, atau Sabdopalon Noyogenggong?”.
Sebenarnya mudah jawabannya, pakai fenomenologi Itskoviyah, “O, dia cuma Hologram. Bukan Manusia.” (*)
Jakarta, 14 Oktober 2017