PWMU.CO – Pemerintahan Prabowo Subianto mengeluarkan kebijakan penghapusan utang untuk UMKM, petani, dan nelayan. Kebijakan ini menarik perhatian karena dinilai sebagai langkah populis yang menyasar sektor masyarakat bawah di tengah kondisi ekonomi yang melemah.
Dilansir dari web um-surabaya.ac.id Arin Setyowati, pakar ekonomi dari UMSurabaya, menyatakan bahwa meskipun ide tersebut dapat dilihat sebagai upaya mendukung sektor produktif dari sudut pandang ekonomi, ada implikasi rumit yang harus dipertimbangkan.
Arin mengungkapkan bahwa data BPS mencatat jumlah rumah tangga petani di Indonesia sebanyak 27.368.975. Sementara jumlah nelayan mencapai sekitar 2.773.538 orang, dan pada tahun 2023, jumlah UMKM di Indonesia tercatat sekitar 66 juta.
“Kebijakan tersebut memberikan dampak positif dalam pemulihan sektor akar rumput melalui pengurangan beban keuangan dan mendorong aktivitas ekonomi, mengingat bahwa dengan terbebasnya mereka dari kewajiban membayar cicilan, mereka bisa meningkatkan produktifitas akibat lemahnya kondisi ekonomi,” jelas Arin Kamis, (31/10/2024).
Selain itu, kebijakan ini mendorong peningkatan konsumsi dan permintaan domestic. Yang mana memberikan kontribusi signifikan terhadap PDB dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja melalui naiknya konsumsi rumah tangga dan kebutuhan domestic.
“Hal terpenting lagi adalah kebijakan ini mengurangi risiko gagal bayar (risiko kredit macet/NPL), mengingat bahwa petani, nelayan dan umkm rentan mengalani kesulitan dalam membayar utang, sehingga kebijakan penghapusan tersebut akan mencegah non-performing loans (NPL) yang membebani perbankan,” tambahnya.
Namun, Arin menekankan pentingnya mempertimbangkan potensi risiko ekonomi yang mungkin muncul. Seperti moral hazard berupa ketergantungan pada bantuan pemerintah, tekanan terhadap sektor perbankan dan stabilitas keuangan, serta beban fiskal yang dihadapi pemerintah. Selain itu, ada juga risiko terkait akses kredit di masa depan bagi ketiga kelompok tersebut, serta kemungkinan kenaikan suku bunga kredit untuk mengimbangi risiko yang harus ditanggung perbankan.
Lima Analisis Pakar Ekonomi UM Surabaya
Dengan mempertimbangkan risiko ekonomi dari kebijakan ini, pemerintah sebaiknya menyeimbangkan pemberian dukungan langsung kepada sektor pertanian, kemaritiman, dan UMKM sambil tetap menjaga stabilitas keuangan dalam jangka panjang.
“Maka ada beberapa alternatif prioritas kebijakan yang lebih sistematis dan berkelanjutan yang bisa dilakukan,” tegas Arin.
Pertama, restrukturisasi utang adalah salah satu langkah dalam manajemen risiko perbankan. Proses ini melibatkan perumusan ulang perjanjian kredit antara bank dan nasabah, seperti menawarkan perpanjangan masa tenor atau penurunan suku bunga untuk meringankan beban nasabah yang berisiko gagal bayar, tanpa menghapus utangnya secara penuh.
Kedua, pemberian subsidi dan asuransi kredit. Kebijakan ini melibatkan pemberian subsidi suku bunga atau pembentukan skema asuransi kredit yang ditujukan khusus untuk sektor pertanian, kemaritiman, dan UMKM, bertujuan untuk mengurangi risiko kredit tanpa membebani sektor perbankan.
Ketiga, meningkatkan akses terhadap pembiayaan alternatif seperti pembiayaan mikro dan fintech untuk mendukung modal kerja di sektor pertanian, kemaritiman, dan UMKM melalui kebijakan insentif bagi lembaga keuangan non-bank.
“Terakhir dengan pemberdayaan dan penguatan ekosistem UMKM, melalui pelatihan, pendampingan usaha, dan peningkatan akses pasar, sehingga produktivitas sektor-sektor tersebut dapat meningkat tanpa perlu mengandalkan bantuan langsung berupa penghapusan utang,” tutup Arin. (*)
Penulis Amanat Solikah Editor ‘Aalimah Qurrata A’yun