PWMU.CO – Universitas Muhammadiyah Surabaya, melalui Pusat Studi Anti Korupsi dan Demokrasi (Pusad), menyelenggarakan acara bertajuk “Perlukah Kita Menormalisasi Politik Uang?” pada Senin (4 /11/2024).
Acara ini diadakan di Ruang Teater Gedung D lantai 7 dan membahas topik penting tentang tingkat permisivitas politik uang serta pola klientelisme di Jawa Timur menjelang Pilkada 2024.
Seminar ini menghadirkan berbagai narasumber, termasuk Komisioner KPU Jawa Timur, Choirul Umam.
Choirul Umam yang juga sebagai penyelenggara pemilu, mengapresiasi riset yang dilakukan oleh Pusad UMSurabaya.
Menurutnya, data yang dihasilkan dari riset ini penting untuk memahami persepsi masyarakat terkait politik uang.
Choirul berharap Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dapat diundang di acara serupa pada kesempatan mendatang untuk memberikan perspektif yang lebih komprehensif dan memperkaya analisis mengenai politik uang di masyarakat.
Dalam paparannya, Choirul juga menyoroti istilah “normalisasi politik uang” yang digunakan dalam acara ini.
Ia mengingatkan bahwa normalisasi bukan berarti membenarkan atau membiarkan politik uang terjadi, melainkan perlu dipahami sebagai upaya untuk mencari solusi regulatif agar politik uang tidak menjadi hal yang lumrah di masyarakat.
Menurutnya, pandangan permisif masyarakat terhadap politik uang, yang berdasarkan survei mencapai 38% atau setara dengan 12 juta orang dari total 32 juta pemilih di Jawa Timur, perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak.
“Permasalahannya tidak hanya soal politik uang yang terjadi setiap lima tahun sekali, tetapi ini menyangkut masalah kebangsaan yang lebih luas. Jika tidak segera dicari solusi, angka ini bisa terus bertambah pada pemilu-pemilu berikutnya.”
“Kita harus mencari jalan keluar, bukan sekadar merilis data survei dan kemudian meninggalkannya begitu saja,” tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa faktor-faktor seperti kesenjangan ekonomi yang signifikan, terutama di daerah pedesaan, pesisir, dan kepulauan, turut berkontribusi terhadap tingginya angka permisivitas politik uang.
Choirul membandingkan bahwa beberapa daerah di Jawa Timur, seperti Ponorogo dan Madura, menunjukkan tingkat permisivitas yang tinggi.
Ia menyebut bahwa wilayah-wilayah ini memiliki karakteristik unik yang mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap politik uang, dan hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai fenomena lokal saja, tetapi sebagai masalah yang lebih struktural dan sistemik.
Keperhatian Politik Uang
Choirul menyampaikan keprihatinannya terhadap tren peningkatan permisivitas masyarakat terhadap politik uang sejak pemilu 2014.
Ia mengutip pandangan aktivis demokrasi, Titi Anggraini, yang menyebutkan bahwa Pemilu 2014 merupakan salah satu pemilu paling brutal dalam sejarah Indonesia. Menurut Choirul, situasi ini belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang signifikan hingga Pilkada 2024.
“Sebagai penyelenggara, kita harus memastikan bahwa pemilu yang kita selenggarakan tidak hanya sukses secara prosedural tetapi juga secara substansial. Demokrasi kita perlu diperkuat dengan nilai-nilai normatif dan moral yang kokoh.”
“Jika tidak, instrumen demokrasi justru bisa disalahgunakan untuk meloloskan perilaku yang bertentangan dengan esensi demokrasi itu sendiri,” tutup Choirul.
Acara ini berhasil membuka wawasan para peserta tentang tantangan dalam menciptakan pemilu yang bersih dari praktik politik uang. (*)
Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan Editor Azrohal Hasan