Raditya Arkan (Foto: PWMU.CO)
Raditya Arkan – Kader IMM Komisariat Tawangalun Universitas Jember
PWMU.CO – Mengutip dari laman https://madaniberkelanjutan.id/, penebangan hutan Indonesia yang tidak terkendali selama puluhan tahun telah menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara drastis. Laju kerusakan hutan pada periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Hal ini menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. Berdasarkan hasil interpretasi citra Landsat pada 2000, terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak. Seluas 59,62 juta hektar dari jumlah tersebut berada di dalam kawasan hutan.
Salah satu penyumbang kerusakan hutan — selain penebangan liar, kebakaran hutan dan eksploitasi hutan, — adalah Deforestasi terbesar selama periode perizinan pembukaan konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) terjadi pada 1997-2000 menunjukkan rata-rata 2,83 juta hektar per tahun. Plus hilangnya tegakan di luar kawasan sebesar 0,68 juta hektar per tahun. Dengan demikian, angka deforestasi seluruhnya mencapai 3,51 juta hektar per tahun.
Deforestasi dapat dimaknai sebagai kehilangan hutan. Karenanya, sangat penting untuk kembali mendudukkan definisi hutan sebagai dasar dalam memahami deforestasi. Di dalam Undang-undang kehutanan, disampaikan bahwa hutan merupakan karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia.
Membincangkan kembali masalah kerusakan hutan yang merupakan karunia dan amanat Tuhan Yang Maha Esa ini terasa kembali menemukan momentumnya, seiring dengan ditetapkannya tanggal 5 November sebagai Hari Cipta Puspa dan Satwa Nasional (HCPSN). Dan HCPSN ini pun setiap tahun dikampanyekan ke seluruh masyarakat bangsa agar selalu mencintai dan melestarikan flora dan fauna Indonesia.
Apa itu HCPSN?
Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional atau yang disingkat HCPSN pertama kali digagas oleh Presiden Soeharto melalui Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional.
Merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) No 92 Tahun 2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi, sedikitnya ada 919 jenis tumbuhan dan satwa langka yang dilindungi oleh Indonesia. Tumbuhan dan satwa tersebut, secara nyata mengelompok dalam 3 (tiga) segmen. Untuk satwa telah mewakili segmen darat, segmen perairan, dan segmen udara, yang dinyatakan sebagai Satwa Nasional. Ketiga satwa nasional itu yaitu : 1) Komodo (Varanus komodoensis) sebagai satwa nasional; ikan Siluk Merah (Sclerophages formosus) sebagai satwa pesona; dan 3) Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) sebagai satwa langka.
Sedangkan tumbuhan terdapat 3 jenis bunga dinyatakan sebagai Bunga Nasional, dan dikukuhkan penyebutannya sebagai berikut : 1) Melati (Jasminum sambac), sebagai puspa bangsa; 2) Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis), sebagai puspa pesona; dan 3) Padma Raksasa (Rafflesia arnoldi), sebagai puspa langka;
HCPSN memiliki tujuan untuk meningkatkan perlindungan terhadap flora dan fauna di Indonesia. Juga untuk mendorong masyarakat Indonesia untuk memiliki rasa cinta yang tinggi terhadap keanekaragaman flora dan fauna Indonesia.
Saat ini banyak flora dan satwa asal Indonesia yang perlu dan harus dilindungi. Faktor penyebabnya adalah keberadaan dan populasi dari beberapa flora dan satwa di Indonesia populasinya terus menurun dan kian menjadi langka. Penurunan dan kelangkaan populasi ini diakibatkan oleh banyak hal, diantaranya hilangnya habitat, perubahan lingkungan, eksploitasi satwa liar, pencemaran lingkungan, perburuan liar dan sebagainya.
Teori Robert Malthus mengatakan bahwa pertumbuhan penduduk menyatakan bahwa pertambahan penduduk akan selalu lebih cepat daripada pertambahan bahan makanan, dengan kata lain, semakin banyak penduduk maka semakin banyak mulut yang harus diberi makan.
Menjawab persoalan itu, pemerintah melalui program gabungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Pertanian, hingga Kementerian Pertahanan merancang program food estate. Program yang diluncurkan pemerintah Presiden Joko Widodo itu sebagai bagian dari Proyek Strategi Nasional untuk 2020-2024 yang bertujuan menciptakan kawasan-kawasan pertanian terpadu yang menyatukan pertanian, perkebunan dan peternakan di daerah-daerah seperti di Kalimantan Tengah, Sumatra Utara dan Papua.
Jauh sebelumnya, program serupa dalam upaya ketahanan dan swasembada pangan sudah ada sejak 1995 (Proyek Lahan Satu Juta Hektar) di Kalimantan Tengah, Lumbung Pangan di Merauke, Bulungan, dan Ketapang (2010-2013), Cetak Sawah di 28 provinsi (2014-2017).
Persoalannya, food estate ternyata menuai banyak kontroversi dan pandangan kritis dari berbagai pihak. Konversi lahan gambut maupun hutan menjadi lahan pertanian telah menimbulkan berbagai kecemasan terutama di kalangan pegiat lingkungan. Kritik yang dilontarkan terhadap konversi lahan ini termasuk mengakibatkan banjir, kehilangan keragaman hayati, maupun peningkatan emisi gas rumah kaca.
Pemberitaan mengenai program food estate di beberapa daerah juga menunjukan perencanaan maupun pelaksanaan program yang lemah. Di Kalimantan Tengah misalnya, sejumlah area yang luas yang ditanami singkong telah ditelantarkan karena buruknya tata kelola serta kurangnya pendanaan. Temuan terbaru dari Pantau Gambut menunjukkan bahwa lahan yang sudah dibuka tidak berfungsi dengan baik. Dari 30 titik yang dipantau dan bersinggungan dengan kawasan gambut lindung, ditemukan 15 titik lahan food estate seluas 4.159,62 hektar yang terbengkalai.
Program food estate juga menghadapi resistensi dari masyarakat setempat, terutama dari golongan penduduk asli yang tidak diikutsertakan dalam perencanaan food estate di daerah mereka, padahal mereka dipastikan kehilangan lahan serta sumber kehidupan tradisional mereka.
Manusia sebagai makhluk yang sempurna dalam akal seharusnya tidak melupakan tempat dirinya berada. Manusia yang hidup berdampingan dengan tumbuhan dan satwa memerlukan kesadaran ekologi sangat penting untuk membangun hubungan yang harmonis antara manusia, tumbuhan, dan satwa. Masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang pentingnya konservasi dan peran masing-masing spesies dalam menjaga keseimbangan ekosistem.
Melalui edukasi dan kampanye yang berkaitan dengan HCPSN, diharapkan masyarakat kian memahami arti penting tumbuhan dalam ekosistem dan kehidupan sehari-hari. Ini juga menjadi kesempatan bagi berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat umum, untuk berkolaborasi dalam kegiatan penanaman pohon, restorasi ekosistem, dan kegiatan konservasi lainnya.
Semoga HCPSN menjadi momentum untuk mendorong tindakan nyata dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Selain itu, hari ini juga dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan pengetahuan tentang tanaman yang memiliki nilai ekonomis, kesehatan, dan estetika, serta pemanfaatannya secara berkelanjutan.
Editor Teguh Imami