Oleh Ahmad Fatoni – Pengajar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang
PWMU.CO – Muhammadiyah merupakan organisasi modern yang bergerak di bidang sosial dan keagamaan. Identitasnya sebagai gerakan pembaruan, organisasi besutan Kiai Haji Ahmad Dahlan ini melakukan pembaharuan pada semua aspek kehidupan secara berkelanjutan. Kendati lebih populer dalam gerakan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial, Muhammadiyah juga punya perhatian besar pada bidang politik.
Pengalaman Muhammadiyah sebagai angggota istimewa Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) di masa Orde Lama, juga keterlibatannya dalam lahirnya Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) pada awal Orde Baru. Pada batas tertentu, pada awal era reformasi Muhammadiyah juga turut memfasilitasi lahirnya Partai Amanat Nasional (PAN). Hal ini kian menegaskan bahwa organisasi yang berdiri tahu 1912 ini tidak pernah jauh dari kancah politik nasional.
Namun, ditegaskan Haedar Nashir dalam buku Dinamika Politik Muhamamadiyah (2006), titik singgung Muhammadiyah dengan politik tidak benar-benar langsung, selalu melalui katalisator atau proses mediasi tertentu, sehingga gerakan Islam modern terbesar di Indonesia ini tetap tegar dan tidak pernah berubah menjadi partai politik. Sebagai organisasi keagamaan, Muhammadiyah memandang politik hanya bagian kecil dari seluruh gerakannya yang mengglobal.
Muhammadiyah memang pernah menjadi gerakan politik karena terlibat dalam proses kelahiran parpol maupun negarawan. Diantara parpol yang lahir dari tangan-tangan dingin politisi Muhammadiyah adalah MIAI, PII, Masyumi, Parmusi, PPP, PAN dan terakhir PMB.
Sedangkan negarawan yang lahir dari rahim Muhammadiyah diantaranya: Ki Bagoes Hadikoesoemo, Kasman Singodimedjo, Kahar Mudzakir, Muhammad Natsir, Muhammad Roem, Soekarno, Soedirman, Soeharto hingga Amien Rais.
Menapaki usia yang ke 112 (18 Novermber 2024) ini, Muhammadiyah konsisten sebagai organisasi sosial dan keagamaan. Muhammadiyah tidak mengubah gerakannya menjadi gerakan politik praktis. Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh (1995) menegaskan, “Muhammadiyah tidak memiliki hubungan organisatoris dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apapun”.
Muhammadiyah dua kali menolak permintaan agar diubah menjadi partai politik. Pertama, pada 1927 KH Agus Salim pernah meminta KH Ahmad Dahlan agar mengubah Muhammadiyah menjadi partai politik. Namun secara tegas ditolak Kiai Dahlan. Kedua, awal Orde Baru Presiden Soeharto juga pernah meminta KH AR Fachruddin mengubah Muhammadiyah menjadi partai politik, namun ditolaknya secara halus.
Persoalannya, dalam situasi krisis etika politik seperti saat ini, ada semacam gejolak yang menggelegak dari warga Muhammadiyah agar Muhammadiyah mengambil peran aktif di panggung politik praktis. Pernah pada medio 2015, merebak wacana untuk mendirikan parpol. Tapi di internal Muhammadiyah sendiri muncul sejumlah pertanyaan bernada gugatan, “Masih perlukah Muhammadiyah terlibat dalam pergulatan politik praktis dengan mendirikan partai politik seperti dalam kasus berdirinya Masyumi, Parmusi, PAN, dan PMB?”.