Bagaimanapun, keterlibatan Muhammadiyahdi kancah politik praktis berimplikasi penggiringan Muhammadiyah pada gesekan-gesekan politik kekuasaan. Melibatkan Muhammadiyan dalam real politics, selain menyalahi Khittah 1971, juga lebih banyak menimbulkan persoalan bagi Muhammadiyah, baik ke dalam maupun ke luar.
Pergulatan Muhammadiyah dengan politik praktis pada masa lalu telah mendorong Muhammadiyah — yaitu sejak 1959 pasca-Masyumi dibubarkan atau membubarkan diri (?) —, untuk kembali ke garis dakwah amar makruf nahi munkar dengan melahirkan Kepribadian Muhammadiyah tahun 1962, kemudian Khittah Ujung Pandang tahun 1971. Sedangkan dalam kasus PAN, melahirkan Khittah Denpasar tahun 2002.
Satu hal yang menggembirakan, setiap terjadi pergumulan dengan dunia politik Muhammadiyah tidak pernah mau ikut terjebak menjadi partai politik atau masuk terlalu jauh dalam kubangan kekuasaan. Selalu terjadi pembentengan ideologis melalui kebijakan kala pergumulan politik itu terjadi.
Misi politik Muhammadiyah tercantum secara jelas dalam berbagai formulasi ideologisnya. Formulasi itu tertuang dalam dokumen-dokumen resmi, seperti Khittah Perjuangan Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan Pernyataan Pikiran Jelang Satu Abad Muhammadiyah.
Dalam dokumen tersebut dinyatakan, Muhammadiyah bukan partai politik dan harus menjaga kedekatan yang sama dengan partai-partai politik. Politik Muhammadiyah berorientasi pada moral-etis, bukan kekuasaan-pragmatis. Tetapi Muhammadiyah juga tidak membatasi bila ada kader-kader terbaik Muhammadiyah berkiprah di pentas politik.
Dengan kata lain, tidak perlu menyeret Muhammadiyah secara institusional terperosok masuk ke ranah politik praktis. Politik memang penting, tetapi hendaknya diperankan oleh partai politik saja. Muhammadiyah yang merupakan organisasi sosial keagamaan tidak perlu ikut terlibat secara langsung didalamnya.
Potensi besar Muhammadiyah menjadikannya untuk tetap istiqamah berada di jalur dakwah dan keagamaan. Muhammadiyah tidak berubah menjadi organisasi politik apalagi partai politik. Hingga kini Muhammadiyah pun tetap netral dengan posisi dan perannya sebagai gerakan moral, sehingga relatif lebih memperoleh tempat yang bermartabat di hati masyarakat. Andaikan Muhammadiyah menceburkan diri dalam kepentingan politik praktis, terlebih menjadi sebuah partai politik, niscaya lebih besar madharatnya daripada manfaatnya.
Keberadaan partai politik yang selama ini lebih berorientasi pada kekuasaan sangat kental dengan nuansa intrik dan konflik kepentingan sehingga dapat merugikan amal usaha, mengendorkan semangat dakwah, dan menggerus nilai-nilai persaudaraan antar sesama umat Islam.(*)
Editor Notonegoro