Oleh: Alfi Saifullah
PWMU.CO – Narasi tentang Kiai Mukhid kembali bergulir. Kisah seorang ulama, penggerak pendidikan, sekaligus guru yang bergelar “Malaikat”. Cerita-cerita ini hadir mengobati dahaga di tengah krisis keteladanan.
1. Ketegasan dan Gelar “Malaikat”
Kiai Mukhid dan istilah “Malaikat” seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan. Gelar itu muncul dari murid-muridnya, yang menggambarkan ketegasan sang Kiai dalam mendisiplinkan mereka.
“Kudu siap, lek praktek sholat gak gowo sarung alamat di samblek” (harus siap, jika praktik salat tidak membawa sarung, pasti akan dihukum), kenang Sugeng, salah satu muridnya.
Beberapa murid lain mengingat bagaimana Kiai Mukhid membawa penggaris besar untuk menghukum mereka yang tidak hafal surat-surat pendek atau melanggar aturan.
Ketegasan ini dibarengi dengan kepedulian yang besar. Ia bahkan rela mencari murid-murid yang tidak melaksanakan salat, mengelilingi Masjid At-Taqwa hingga menemukan mereka.
2. Ketegasan dalam Kebersahajaan
Pada suatu malam di kedai STMJ Mas Agus, Kiai Mukhid tampak menikmati segelas STMJ sembari menunggu mobil travel untuk perjalanan tabligh Muhammadiyah di Ponorogo. Rizal, salah seorang pengunjung, membayarkan minuman Kiai Mukhid sebagai bentuk penghormatan.
“Gawe nebus, bek menowo mbiyen ayahku nduweni salah nang Pak Mukhid,” (untuk menebus, barangkali dulu ayahku pernah berbuat salah kepada Pak Mukhid) ujar Rizal.
Flashback ke masa lalu, Kiai Mukhid pernah berdebat sengit dengan KH. Drs. Hasan Budiman dari PCNU Batu. Meski berbeda pandangan, perdebatan itu berakhir damai berkat mediasi pihak militer setempat.
3. Prinsip dan Humor dalam Dakwah
Kiai Mukhid dikenal tegas dalam menjalankan prinsip hidupnya:
- Hindari masalah dengan bank (jangan berutang).
- Hindari masalah dengan polisi (jangan melanggar hukum).
- Hindari masalah dengan dokter (jaga kesehatan).
Ia juga sering menyelipkan humor dalam nasihatnya, seperti saat mengajarkan bacaan surah Al-Ikhlas: “Katakan, Qul huwallahu ahad. Jangan katakan, Kul huwallahu ahad. Jika dibaca kul, artinya ‘makanlah Allah Yang Maha Esa’.”
4. Sosok Sederhana dan Mandiri
Menurut putrinya, Bu Ninik Mukhid, Kiai Mukhid adalah sosok sederhana yang mandiri hingga usia senja. Ia bahkan mencuci dan menyetrika bajunya sendiri untuk menjaga tubuh tetap aktif.
Sebelum wafat, ia memohon kepada Allah agar diberikan sakit hanya selama seminggu, agar anak-anaknya memiliki kesempatan merawatnya tanpa terlalu merasa terbebani.
Permohonan itu dikabulkan. Beberapa hari sebelum wafat, ia sempat berkata, “Aku tidak mau meninggal di sini (ICU), aku mau meninggal di masjid.” Beberapa hari kemudian, setelah menunaikan salat tahajud, Kiai Mukhid menghadap Sang Khalik.
“Wahai jiwa-jiwa yang tenang! Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku.”
Editor Zahra Putri Pratiwig